Kesehatan

Memahami Pentingnya Prinsip Neuroetik Dalam Bidang Kesehatan

Indodax


Mungkin Anda sangat asing dengan istilah neurotik. Neurotik adalah salah satu ilmu yang ada di dalam bidang medis. Memang, di Indonesia masih sangat sedikit yang membahas tentang hal ini. Namun, di negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan berbagai negara di benua Eropa, sudah mendalami bidang ini dari lama.

Mengenal neuroetik, prinsip penting dalam kesehatan

Neuroetik adalah cara yang dibuat untuk memahami kerja otak saat kita terlibat dengan isu-isu sosial terkait penyakit, normalitas, kematian, gaya hidup, dan filosofi kehidupan.

Para ahli berpendapat bahwa neuroetik adalah cabang dari bioetik. Bioetik sendiri merupakan studi yang mengaitkan moral serta etika dengan ilmu pengetahuan dan layanan kesehatan. Istilah “bioetik” pertama kali digunakan awal tahun 1970-an. Seiring perkembangan teknologi, bioetik berkembang pesat, begitu pula neuroetik.

Sementara itu, neuroetik baru diperkenalkan William Safire tahun 2002. Secara akademis, istilahi neuroetik pertama kali digunakan secara resmi pada pertemuan internasional yang bertajuk “Neuroethics: Mapping the Field” diselenggarakan di Golden Gate Club, San Francisco, CA, Amerika Serikat, tanggal 13–14 Mei 2002.

Peserta konferensi tersebut terdiri dari para ahli dari berbagai bidang seperti, neurosains, bioetik, filosofi, hukum, genetik, jurnalis. Dalam konferensi tersebut membahas tentang problematika etis terkait neurosains atau yang saat ini disebut dengan neuroetik.

Apa saja yang menjadi ranah neuroetik?

Awalnya, neuroetik digunakan dalam ilmu sistem saraf, tapi kini prinsip tersebut sudah digunakan dalam bidang lain. Berbagai teknologi yang berkembang saat ini juga telah menerapkan neuroetik, seperti psychosurgery, implantasi otak (deep-brain stimulation), neurostimulasi, pencitraan otak, dan biomarker.

Bahkan berbagai ahli telah berkolaborasi dalam mengembangkan prinsip ini, mulai dari dokter, sosiolog, filsuf, peneliti, ahli biologi, ahli saraf, ahli jiwa, hingga ahli hukum.

Hal yang paling diperhatikan dalam bidang neuroetik adalah proses pengolahan emosi serta kemampuan kognitif sangat diperhatikan, karena keduanya berpusat di otak, yaitu di area korteks prefrontal, amigdala, dan bagian saraf otak lainnya.

Bagian otak tersebut adalah tempat mengolah informasi, mengatur kemampuan kognitif, hingga mengendalikan emosi. Maka itu,sebagian ahli berpendapat bahwa apa yang ada di dalam otak manusia adalah hal yang privasi. Jadi ketika mengulik isi di dalamnya, dibutuhkan prinsip etika dan regulasi yang ketat.

Kontroversi neuroetik dalam bidang kesehatan

Beberapa peralatan canggih yang digunakan untuk memeriksa kerja dan fungsi otak seperti functional neuroimaging masih menimbulkan pro dan kontra. Dalam bidang kesehatan, dokter perlu melakukan pemeriksaan medis tersebut untuk mendiagnosis dan mengetahui dengan pasti kondisi dari sang pasien. Namun, hal ini menjadi perdebatan karena tindakan tersebut dianggap dapat mengganggu privasi pasien yang tersimpan di dalam otaknya.

Melalui observasi dan didukung peralatan canggih pula, Damasio dan RJR Blair berhasil membuktikan bahwa anak dengan kecenderungan psikopat terbukti memiliki struktur dan fungsi otak yang tidak normal, yaitu pada bagian korteks orbitofrontal, amigdala.

Sebagian psikopat memang terganggu fungsi kognisinya. Ia terkadang melakukan hal-hal yang membahayakan orang lain. Uniknya, psikopat masih memiliki kendali diri. Hal yang membuat kontroversi di ranah neuroetik adalah bahwa daerah otak selain korteks orbitofrontal juga berperan dalam proses kognisi. Korteks parietal juga berperan untuk menyeimbangkan proses kognisi dengan emosi.

Tak cuma di bidang kesehatan, neuroetik dipakai dalam hal lain

Dewasa ini, pembahasan neuroetik berhasil meluas dan berkembang hingga terjadi ‘perkawinan silang’ antara berbagai ilmu pengetahuan lain misalnya, neuroteknologi, neuroekonomi, neuroengineering, neuromarketing, neuroleadership, neuropolitik hingga merambah ke neurofashion.

Jadi dengan prinsip neurofashion, para ahli saraf dapat memerkirakan tren busana di masa depan. Sementara, pola ketertarikan dan kecenderungan konsumen terhadap suatu produk dapat diprediksi melalui kajian neuromarketing. Bahkan naik-turunnya harga saham, perilaku pasar, pengusaha, produsen, dan konsumen di masa depan juga dapat diperkirakan melalui riset neuroekonomi.

Pola kepemimpinan penguasa, arah pemikiran politikus dan pemimpin partai, kecenderungan politik suatu negara dapat dievaluasi melalui observasi neuroleadership dan neuropolitik secara mendalam.

Otak virtual, optogenetik, biosensor, biomarker merupakan produk teknologi rekayasa hasil kajian neuroteknologi bersama nanoteknologi dan nanomedicine. Tentunya semua ini menimbulkan problematika baru, terutama (bio)etik, yang diupayakan dicarikan solusinya melalui kajian neuroetik.

Pembahasan neuroetik di Indonesia masih sebatas diskusi akademis, belum sampai diterapkan langsung di lapangan. Contohnya, kasus spa otak (brain-washing) yang sempat menghangat beberapa saat lalu yang sebenarnya merupakan kajian neuroetik.

Kasus ini memang membuat opini publik dan para pakar di bidangnya “seolah terbelah”. Ada yang pro, namun  lebih banyak yang kontra. Yang pro mengatakan itu demi kebaikan umat dan inovasi anak negeri. Sementara pihak kontra mengatakan itu tidak terbukti secara medis, tidak diakui metodologinya oleh aturan dan prinsip medis, bahkan berpotensi membahayakan jiwa.

Tentu saja diperlukan kearifan-seni tersendiri untuk memahaminya. Yang pasti, sehebat apapun pembahasan neuroetik, semua berpulang ke nurani masing-masing.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Pemerintah, pembuat kebijakan, bersama para pakar lintas-multidisiplin ilmu, akademisi, masyarakat, dan pihak terkait perlu duduk bersama merumuskan strategi yang bisa efektif untuk segala bidang tapi tetap menjunjung tinggi prinsip neuroetik.

Menurut saya, strategi tersebut harus dilakukan dengan cara mengenalkan dulu apa itu neuroetik. Kemudian belajar dan melihat pengalaman dari berbagai kasus yang telah terjadi, entah itu di dalam atau di luar negeri.

Selanjutnya, hasil pembelajaran ini didiskusikan dan dibagikan kembali dalam bentuk seminar hingga informasi di dalam buku. Sampai akhirnya masyarakat siap untuk menerapkan hal ini.

Ke depannya, perlu juga dipertimbangkan apakah neuroetik perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan dokter umum, dokter spesialis neurologi, atau hanya sebagai sisipan yang tercakup di dalam materi bioetik atau etika.

Revolusi genetika telah berhasil melahirkan berbagai teknik canggih berupa optogenetics dan CRISPR (Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeat). Teknik ini tentunya juga menimbulkan problematika baru di bidang neuroetik. Strategi pembelajaran dan pengembangan neuroetik tentunya takkan dapat dipisahkan dari kemajuan neuroteknologi.


Kategori : Berita Kesehatan

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *