Kelangkaan Batu Bara ? Ini Faktanya
Wikimedan.com – Kelangkaan Batu Bara ? Ini Faktanya. Di tahun batu bara menyentuh rekor harga tertinggi, banyak analis, ekonomis dan pelaku pasar yang memperkirakan bahwa ‘emas hitam’ yang saat ini berkontribusi besar bagi perekonomian Indonesia, kelak dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan menjadi bagian dari buku sejarah.
Batu bara sejatinya sudah lama diramalkan akan ditanggali, akan tetapi hingga beberapa waktu lalu tidak terdapat waktu pasti yang disepakati bersama oleh kumpulan individu paling berpengaruh di dunia yang baru bertemu di Glasgow awal pekan ini.
Konferensi Perubahan Iklim PBB atau dikenal juga sebagai COP26 yang tahun ini dilaksanakan di ibu kota Skotlandia memang baru resmi berakhir minggu depan, akan tetapi acara utama yakni pertemuan pemimpin dunia untuk membahas arah kebijakan demi menghindari krisis iklim dunia telah selesai digelar.
Berbagai keputusan penting dengan konsekuensi yang besar bagi perekonomian dunia dibahas mendalam, khususnya terkait isu lingkungan dan energi.
Sekitar 190 negara dan organisasi yang menghadiri KTT COP26 Glasgow dilaporkan menandatangani perjanjian untuk memensiunkan PLTU batu bara. Hal ini untuk mencegah ancaman perubahan iklim yang diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan.
Perjanjian tersebut mencakup 18 negara yang untuk pertama kalinya berjanji untuk memensiunkan atau menghentikan investasi di pembangkit listrik tenaga batu bara baru di dalam dan luar negeri.
Daftar tersebut mencakup negara-negara pengguna batu bara utama, termasuk Kanada, Polandia, Ukraina, dan Vietnam. Mereka telah berkomitmen untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap pada tahun 2030-an untuk negara-negara maju dan ekonomi besar dan tahun 2040-an untuk negara dengan ekonomi yang lebih kecil.
Dari dalam negeri sendiri, Indonesia dikabarkan siap untuk ‘memensiunkan’ secara dini pembangkit listrik dengan sumber energi batu bara pada 2040 mendatang sebagai bentuk komitmen Indonesia dalam mengantisipasi perubahan iklim yang mengancam dunia.
Ini jauh lebih cepat dari prakiraan awal penghentian batu bara baru bisa dilakukan pada 2056, sehingga pada 2060 RI bisa mencapai emisi nol karbon.
Sebenarnya selain dari komitmen para pemimpin dunia, tren bahwa umat manusia mulai meninggalkan komoditas yang terbentuk dari fosil tumbuhan ini sudah terlihat jelas jauh sebelum KTT COP26 tahun ini.
Berikut beberapa fakta yang membuktikan bahwa ‘kiamat’ batu bara memang semakin dekat
Akhir September lalu, di depan Majelis Umum PBB Presiden China Xi Jinping menyampaikan pengumuman yang menghantam industri fosil, khususnya batu bara, di mana Xi membuat komitmen baru terkait kebijakan iklim untuk menangani pemanasan global.
Dalam sidang tersebut Xi menegaskan bahwa China tak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara lagi di luar negeri. Sebelumnya telah diketahui melalui pendanaan Belt and Road Initiative (BRI), China berinvestasi di sejumlah proyek PLTU di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia.
Ia juga berjanji akan mempercepat upaya China untuk mencapai netralitas karbon di 2060. Termasuk mendukung negara berkembang mengembangkan energi hijau dan rendah karbon.
Keputusan tersebut sejalan dengan ambisi China untuk menjadi pemimpin dalam upaya adopsi energi terbarukan yang ramah lingkungan. Semenjak Presiden Trump memutuskan Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris, China mulai mengambil peran signifikan dalam upaya masyarakat dunia meredam pemanasan Global.
Meski Presiden Biden telah membalikkan keputusan Trump dan kembali bergabung, AS masih belum mampu meruntuhkan dominasi China. Kebijakan baru Xi Jinping dan pemerintah China tersebut tentu mendapat dukungan dari berbagai negara dan menumbuhkan optimisme masyarakat dunia.
Sebelumnya, pada Juni 2021 International Renewable Energy Agency (IRENA) telah menandatangani nota kesepakatan baru dengan Kementerian Ekologi dan Lingkungan China untuk mempromosikan netralitas karbon melalui energi terbarukan.
Kerja sama ini akan memusatkan percepatan pengembangan energi terbarukan yang memungkinkan janji China untuk mencapai puncak emisi karbon sebelum tahun 2030 dan mencapai netralitas karbon sebelum 2060.
China adalah pemimpin dalam penyebaran energi terbarukan, mewakili lebih dari 40% dari total sebaran energi terbarukan global.
Biaya daya yang rendah, rantai pasokan yang matang, dan sumber daya terbarukan dengan kualitas baik menempatkan China pada posisi menjanjikan untuk menggunakan energi terbarukan sebagai pilar sistem energinya. IRENA memperkirakan bahwa energi terbarukan memiliki potensi memasok lebih dari 90% kebutuhan listrik China pada tahun 2050 dengan lebih dari 60% bersumber dari matahari dan angin.
Pemberi Dana Mulai Menjaga Jarak
Jika China berkomitmen tak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara lagi di luar negeri, Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia lebih ekstrem lagi. ADB telah mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mendanai proyek yang berkaitan dengan eksplorasi atau produksi tambang batu bara, minyak bumi dan gas alam di dunia.
Kebijakan baru ini diumumkan dalam draf pernyataan kebijakan yang dirilis pada awal Mei lalu . Pengumuman ini disambut baik oleh kelompok penggiat lingkungan, yang mengatakan seharusnya ADB sudah mengambil langkah ini sejak satu dekade lalu.
Dikutip dari Reuters yang melansir The Strait Times, dua organisasi lingkungan menuding ADB telah mengucurkan US$ 4,7 miliar atau setara dengan Rp 68,15 triliun (kurs rata-rata 14.500) untuk mendanai proyek energi fosil khususnya gas alam sejak diterapkannya Perjanjian Iklim di Paris pada akhir 2015.
ADB sendiri mengkonfirmasi angka penyaluran kredit US$ 4,7 miliar tersebut, tetapi menegaskan bahwa sebagian besar pembiayaan energi selama 2015-2020 dialokasikan untuk sumber energi terbarukan dan pengembangan jaringan infrastruktur.
Tujuan pelaksanaan program ini adalah untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil di Asia, khususnya untuk mendorong peralihan dari pembangkit listrik yang tidak ramah lingkungan berbahan bakar batu bara.
Zhai Yongping, Kepala Grup Sektor Energi ABD mengatakan 60% dari total pembangkit listrik di Asia berasal dari pembakaran batu bara, sehingga penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara dan menggantinya dengan energi bersih yang terbarukan, dalam beberapa kasus terbatas digantikan oleh gas alam yang memiliki efisiensi lebih tinggi dengan emisi lebih rendah.
Ia juga mengatakan, dari 2009-2019, pembiayaan energi bersih ADB mencapai US$ 23 miliar (Rp 333 triliun), dan targetnya mencapai US$ 80 miliar (Rp 1.160 triliun) untuk pembiayaan iklim secara kumulatif dari tahun 2019 hingga 2030.
Selain ADB, dari kancah global juga ada UBS yang melakukan penurunan pembiayaan terhadap bisnis bahan bakar fosil hingga 73%, dari US$ 7,7 miliar (Rp 111,65 triliun) pada tahun 2016 menjadi US$ 2,1 miliar (Rp 30,45 triliun) pada tahun 2020, menurut analisis CNBC Make It.
Biaya Energi Bersih Yang Makin Turun Dan Beragam Alasan Lainnya
Jika dunia ingin beralih ke energi bersih, salah satu hal utama yang paling penting adalah terkait harga. Tentu biaya energi yang mahal tidak dapat membuat banyak negara berpikir ulang untuk melakukan transisi akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir biaya untuk memproduksi energi yang ramah lingkungan telah turun drastis dan bersaing secara ekonomis dengan energi fosil. Hanya saja faktor penting lain seperti keandalan (reliability), dalam beberapa kasus masih menjadi permasalahan.
Berikut adalah data biaya listrik per MWh dari berbagai sumber utama, dikutip dari ourworldindata. Sebagai catatan semua harga tersebut – energi terbarukan serta bahan bakar fosil – merupakan harga sebenarnya, tanpa subsidi dari pemerintah.
![]() Biaya listrik berdasarkan beberapa sumber utama |
Terlihat dalam waktu sepuluh ketika biaya listrik dari batu bara hanya berkurang 2% saja, energi surya turun hingga 89% begitu juga dengan pembangkit listrik tenaga angin dari kincir di darat. Harga keduanya bahkan telah lebih rendah dari pada batu bara.
Selain itu beberapa teknologi baru juga mulai dikembangkan dengan riset secara mendalam terus diperkuat. Beberapa terobosan besar seperti kapasitas penyimpanan energi yang efisien yang mampu menampung kelebihan energi surya yang dihasilkan pada siang hari untuk didistribusikan pada waktu tanpa cahaya matahari tentu dapat meningkatkan keandalan dan membuat pemangku kepentingan berpaling dari energi ‘kotor’.
Alasan lainnya termasuk melunaknya pendirian beberapa aktor penting yang kini semakin mempertimbangkan aspek lingkungan dalam menjalankan bisnis dan usaha. Hampir semua perusahaan minyak dunia sudah mulai melakukan investasi di bidang energi terbarukan dengan yang terbaru Saudi Aramco yang memiliki kontribusi besar terhadap perekonomian Arab Saudi juga telah menyampaikan target netralitas karbon di tahun 2016, meski sepuluh tahun lebih lama dari rekan satu industri seperti Shell, BP dan Chevron.
Terlepas apakah keputusan tersebut hanya ‘rebranding’ permainan PR atau niatan tulus, dengan komitmen tersebut tentu akan datang tekanan dari para pemegang saham dan pemegang kepentingan agar apa yang dijanjikan dapat ditepati.
Meskipun sudah banyak tanda-tanda yang mengarahkan pada ‘kiamat’ batu bara, sejatinya tidak ada yang tahu pasti tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Satu atau beberapa hal yang terjadi di waktu mendatang bisa dengan cepat mengubah arah kebijakan penggunaan batu bara di masa mendatang.
Tapi hingga saat ini, berdasarkan beragam data yang tersedia, sepertinya komoditas energi yang sejatinya merupakan fosil yang terbentuk dari tumbuhan mati, penggunaannya akan segera berakhir dan mati untuk selamanya.