Sekber Perlindungan Pertemukan 3 Anak Korban Gempa dengan Keluarganya
[ad_1]
Wikimedan – Sekretariat Bersama (Sekber) Perlindungan Anak, Kementerian Sosial di Palu, Sulawesi Tengah, berhasil mempertemukan satu anak yang sebelumnya terpisah karena gempa dan tsunami Sulteng dengan keluarganya. Dengan demikian sudah tiga anak yang berhasil dipertemukan dengan keluarganya.
“Dari tiga anak itu, yang terbaru sudah kami pertemukan dengan keluarga terdekatnya. Tentu saja sebelum dipertemukan, kami menempuh sejumlah posedur,” kata Koordinator Sekber Perlindungan Anak Febriadi yang akrab dipanggil Fedi, di Palu, Minggu, (7/10).
Menurut Fedi, anak yang tidak disebutkan namanya ini semula berada di rumah sakit, setelah selamat dari gempa Sulteng. Sekber yang menerima laporan, lalu mencari dan menemukannya, kemudian dipertemukan dengan keluarganya.
Hingga Minggu, Sekber Perlindungan Anak sudah menerima data anak hilang/terpisah sebanyak lebih 50 anak, baik dari registrasi langsung di sekber, maupun hasil aduan melalui jejaring sosial media seperti Facebook, Whatsapp, juga selebaran.
Tim dari Sekber Perlindungan Anak benar-benar mencermati semua tahapan sebelum si anak berada dalam pengasuhan pihak lain. “Bahasa tubuh baik si anak maupun pengasuh yang baru, kami cermati. Bila ada indikasi mencurigakan atau anak menolak dengan reaksi tertentu, kami akan batalkan,” kata Fedi.
Anak ini sudah dibawa keluarganya ke Manado, Sulawesi Utara. “Di Manado, anak ini juga dimonitor oleh Kementerian Sosial melalui jejaring pekerja sosial di sana, dengan bekoordinasi dengan dinas sosial setempat,” kata Fedi.
Menurut Fedi, bila masuk laporan terkait anak hilang, maka sekber akan menyebarkan foto anak dengan menggunakan berbagai saluran informasi.
“Misalnya melalui jaringan relawan yang ada di sini. Atau kami menyebarkan foto di sejumlah tempat temasuk posko-posko bantuan tanpa mencantumkan identitas,” katanya.
Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Nahar menambahkan, ada prosedur ketat perlu ditempuh untuk memastikan anak tersebut tidak berada dalam penguasaan pihak yang tidak bertanggung jawab. Terlebih dalam situasi bencana, dimana perhatian dan kesibukan masyarakat tekuras untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
Anak korban bencana tidak mendapat pengawasan semestinya, atau malah tidak ada yang menjaga, sementara belum bertemu dengan orangtuanya, atau orangtuanya wafat menjadi korban bencana.
“Kami harus memastikan pihak yang mengasuh adalah orang yang bertanggung jawab dan benar-benar ingin memberikan perlindungan kepada anak,” katanya.
Ini untuk menghindari anak dari berbagai bentuk kejahatan, seperti penculikan, perdagangan orang, pencurian organ tubuh, atau adopsi yang tidak sesuai prosedur (adopsi ilegal). Peran pemerintah daerah juga penting mencegah bahaya terhadap anak korban bencana. “Kami ingin memastikan bahwa anak-anak yang kehilangan orangtuanya, diasuh kembali oleh orangtuanya/keluarga atau pihak yang jelas identitas dan tujuannya,” kata Nahar.
Pengaduan anak hilang juga dibuka di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Intelektual (BRSPDI) Nipotowe Palu. Data sampai Minggu menunjukkan, telah masuk pengaduan di balai ini sebanyak 10 orang anak hilang atau terpisah dari orangtuanya.
(met/JPC)
[ad_2]