Kesehatan

Obat Antibiotik dan Antasid Dapat Tingkatkan Risiko Obesitas Anak Balita?

Indodax


Kita selama ini mungkin hanya tahu bahwa penyebab utama dari obesitas adalah kenaikan berat badan yang tidak terkendali. Anak kecil memang akan berisiko punya berat badan berlebih apabila terus mempertahankan pola makan berkalori tinggi, tanpa diseimbangi dengan rutinitas olahraga yang baik. Namun menurut penelitian, efek samping obat antibiotik dan antasid (obat maag) dicurigai juga ikut andil menjadi penyebab anak obesitas selain akibat gaya hidup yang kurang sehat. Kok bisa?

Antibiotik dan antasid, penyebab anak obesitas di usia dini

Pernyataan di atas disimpulkan oleh sebuah studi kolaborasi antara Walter Reed National Military Medical Center dan Uniformed Services University of the Health Sciences (USU) dalam jurnal daring Gut.

Tim peneliti sebelumnya sudah mengamati sebanyak 300 ribu bayi yang tercatat lahir antara bulan Oktober 2006 sampai September 2013. Hasilnya menunjukkan bahwa hampir 72,4%  anak yang minum antibiotik dan 11,8% yang minum antasid sebelum genap berusia dua tahun lebih berisiko mengalami obesitas di kemudian hari.

Antibiotik digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh bakteri, sementara antasid adalah obat untuk mengobati maag dengan mengontrol refluks asam lambung. Lantas, kenapa kedua obat ini dijadikan kambing hitam, melihat kegunaannya yang begitu bermanfaat?

Antibiotik dan antasid matikan bakteri baik dalam usus

Dr. Cade Nylund, ketua penelitian sekaligus dosen di USU, mengungkapkan bahwa cara kerja kedua obat tersebutlah yang melatarbelakangi penyebab obesitas pada anak-anak balita. Meski kedua antibiotik dan antasid memiliki tujuan pengobatan yang berbeda, ternyata efeknya dalam tubuh sepadan. Keduanya berpengaruh pada perubahan keseimbangan bakteri baik dalam tubuh.

Antibiotik bekerja membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri. Namun, zat obat antibiotik tidak mengenal mana bakteri baik dan jahat. Semua jenis bakteri akan diberantas habis. Sementara itu, antasid bekerja menurunkan tingkat keasaman dalam lambung sehingga secara tidak langsung ikut mematikan sejumlah bakteri baik yang hidup dalam usus.

“Perubahan keseimbangan bakteri baik dalam perut akan berdampak pada cara tubuh mencerna dan mengolah nutrisi makanan,” jelas Nylund. Bakteri baik berperan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk melawan kuman pembawa penyakit yang masuk ke dalam tubuh.

Maka ketika usus tidak memiliki cukup koloni bakteri baik, kekuatan “daya juang” sistem imun Anda untuk melawan peradangan akibat infeksi otomatis akan ikut berkurang. Peradangan kronis dalam tubuh inilah yang dapat meningkatkan risiko obesitas pada anak.

Lalu, apa yang harus orangtua lakukan?

Semakin sering dan semakin lama minum antibiotik atau antasid dalam dosis tinggi akan mengurangi populasi bakteri baik dalam usus. Maka untuk mencegah risiko efek samping dari penggunaan obat yang tidak semestinya, pertimbangkan dulu apakah anak perlu minum kedua obat itu atau tidak.

Bayi dan balita memang kelompok usia yang paling sering jatuh sakit, misalnya flu dan pilek, karena sistem imun mereka belum sekuat orang dewasa. Namun, kadang orangtua sudah kepalang panik duluan melihat anaknya sakit sehingga langsung membeli antibiotik di apotek. Ini adalah langkah yang keliru dan tidak perlu tapi masih sering dilakukan.

Infeksi umum seperti flu dan pilek adalah penyakit yang disebabkan oleh virus sehingga tidak akan mempan dan bisa diobati pakai antibiotik. Selain itu, antasid juga kerap kali diberikan pada bayi saat mengalami refluks asam lambung. Padahal kondisi ini normal terjadi pada bayi seiring dengan perkembangan sistem pencernaannya.

Jika masih ragu tentang obat yang cocok untuk anak, konsultasikan lebih lanjut pada dokter. Untuk memperbanyak jumlah bakteri baik dalam usus selama anak diresepkan antibiotik, Anda bisa beri makan yogurt dan makanan probiotik lainnya. Anak sudah boleh makan yogurt mulai usia satu tahun. Jangan lupa juga untuk memerhatikan kembali asupan dan pola makan anak serta aktivitas fisiknya setiap hari.

Baca Juga:


Kategori : Berita Kesehatan

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *