Revisi Aturan Data Center : Kegaduhan Baru Rudiantara

Jakarta, Wikimedan – Akhir tahun rupanya selalu dijadikan tradisi bagi Rudiantara untuk melakukan gebrakan. Tengok saja pada akhir 2014 dan 2015.
Pada penghujung 2014, ia mewajibkan operator untuk segera mengoperasikan tekologi 4G LTE, meski frekwensi yang dilakukan masih terbatas di 900 Mhz. Dengan LTE, masyarakat dapat mengakses internet dengan kecepatan hingga 100 Mbps. Mendorong tumbuhnya ekosistem DNA (device, network, application).
Pada akhir 2015, Rudiantara berencana untuk mengubah aturan — yang jika terealisasi — akan sangat berdampak bagi industri selular, yakni revisi tarif interkoneksi dan kewajiban network sharing bagi operator.
Namun seperti kita ketahui, tidak seperti layanan 4G LTE, rencana revisi tentang tarif interkoneksi dan kewajiban network sharing, memunculkan polemik berkepanjangan. Membuat operator terbelah menjadi dua kubu yang saling bertentangan. Ujungnya, rencana merevisi kedua PP itu, menggantung hingga hari ini.
Setelah dua manuver tersebut, memasuki penghujung tahun ini, mantan Wadirut PLN itu mengambil langkah yang juga terbilang fundamental. Tidak hanya bagi pengembangan industri di era digital, namun juga keamanan nasional.
Rudiantara bertekad merevisi Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE).
Revisi tersebut, diklaim untuk memberikan kepastian iklim berusaha dengan tetap menjaga kedaulatan negara. Diketahui draft revisi PP PSTE sudah masuk tahap finalisasi di Sekretariat Negara (Sekneg).
Rudiantara menyebutkan sudah menyerahkan naskah final revisi PP tersebut kepada Presiden pada 26 Oktober lalu. Sesuai dengan ketentuan Sekretariat Negara saat ini masih tahap finalisasi dan sinkronisasi akhir.
Menteri asal Bogor itu optimis revisi tentang kewajiban data center akan ditandatangani oleh Presiden Jokowi di akhir tahun ini. Sehingga dapat resmi diterapkan pada 2019.
Untungkan Asing
Rudiantara boleh saja berencana, namun implementasinya tidak semudah untuk dilaksanakan. Seperti halnya rencana revisi tarif interkoneksi dan kewajiban network, revisi PP PSTE juga menimbulkan kegaduhan, khususnya dunia usaha yang merasa dirugikan.
Pokok permasalahan adalah menyangkut kewajiban membangun data center. Jika jadi diterapkan, maka aturan baru tersebut dengan sendirinya akan menganulir aturan yang sudah ada di PP PSTE yang tegas menyatakan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk pelayanan publik wajib menempatkan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, pelindungan dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.
Inilah yang kemudian menjadi sumber masalah yang membuat banyak pihak meradang. Perubahan terhadap PP PSTE dinilai hanya menguntungkan pemain asing dan menjadikan pemain lokal sebagai kaum paria di negeri sendiri.
Penilaian tersebut disampaikan Kaukus Indonesia Data Center Provider Organizaton (IDPRO) , Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) , Asosiasi Big Data & AI (ABDI), dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) seandainya draft revisi PP PSTE akhirnya ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Teddy Sukardi, Sekjen Asosiasi Data Center di Indonesia (IDPRO), menegaskan bahwa pelaku industri data center tetap berharap Peraturan Pemerintah (PP) No. 82/2012 tentang perlindungan data pribadi tidak ada perubahan untuk menjamin keberlangsungan investasi pemain data center lokal. Khususnya pasal 17 yang menyebutkan tentang penempatan data center harus ada di Indonesia.
Teddy menegaskan, pasal itu tidak perlu dirubah atau diotak-atik. Pasalnya, keberadaan data center sangat dibutuhkan oleh banyak pihak khsusunya para pelaku bisnis di Indonesia untuk menunjang operasional dan keberhasilan bisnis dan produk mereka.
“Pertimbangannya diharapkan betul-betul lebih matang. Jangan sampai nanti menimbulkan celah-celah yang akhirnya berdampak kepada momentumnya hilang pelaku usaha di Indonesia, sehingga momentum melindungi data prbadi juga hilang,”ujar Teddy di Jakarta (18/10/18).
Pemintaan Kapolri
Tak hanya berseberangan dengan dunia usaha, keinginan Rudiantara untuk mengubah aturan pembangunan data center di Indonesia, sesungguhnya juga bertabrakan dengan permintaan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Seperti diketahui, Dengan kemampan viralitasnya, media sosial (Medsos) seringkali digunakan untuk menyebarkan informasi. Sayangnya oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, medsos kerap dijadikan sarana untuk menyebar informasi yangtidak benar (hoax) ataupun yang bersifat provokasi.
Kerusuhan yang terjadi di Tanjungbalai, Sumatera Utara yang terjadi beberapa waktu lalu, menjadi salah satu contoh kerusuhan yang disinyalir disebabkan meluas karena adanya provokasi di media sosial.
Guna mencegah kerusahan seperti itu terjadi lagi, Tito Karnavian menyatakan akan bekerjasama dengan Kementrian Kominfo.
“Saya akan melakukan koordinasi dengan Menkominfo bagaimana untuk pengawasan media sosial, Twitter, Facebook, dan lain-lain yang dengan mudah orang-orang menyebarkan sehingga viral,” kata Tito.
Tito juga mengaku telah menyiapkan beberapa opsi, salah satunya adalah dengan meminta provider internasional untuk server ke Indonesia.
“Dengan memindahkan sever di sini misalnya, sehingga kita bisa mengantisipasi isu-isu provokasi yang mudah sekali menyebar melalui medsos,” jelasnya.
Namun dengan rencana revisi PP PSTE yang kini tengah diajukan, Kapolri Tito Karnavian tentu akan kecewa, karena upaya pihak kepolisian untuk menekan hoax dan ancaman terorisme, tak mendapat dukungan dari Menkominfo Rudiantara.
Dengan banyaknya pihak yang berseberangan dengan Menkomifo, apakah revisi PP PSTE bakal tetap berjalan mulus atau kembali bernasib seperti PP network sharing dan interkoneksi yang terbilang gagal? Kita tunggu sampai akhir tahun ini.
Kategori : Berita Teknologi