Publikasi Tinggi, tapi Disisipi Kecurangan
Wikimedan – Di ASEAN, Indonesia menduduki peringkat kedua tertinggi setelah Malaysia dalam hal publikasi internasional. Namun, temuan tim penilaian angka kredit (PAK) 2018 Kemenristekdikti ini melunturkan prestasi itu. Sebab, tingginya publikasi tersebut ternyata diwarnai praktik-praktik curang.
Dalam dokumen evaluasi PAK, dijelaskan beberapa dugaan modus kecurangan. Salah satunya, self-citation atau sitasi (merujuk) karya sendiri dalam jumlah yang tidak wajar. Di kalangan akademisi, self-citation biasa disebut dengan masturbasi publikasi.
Dalam dokumen tersebut digambarkan, sitasi Indonesia mengalami kenaikan sejak 2016 hingga 2018. Ada juga temuan sebuah artikel yang disitasi atau dirujuk 66 karya tulis lain. Dari jumlah itu, 29 karya tulis (43 persen) buatan sendiri. Kemudian, ada sebuah karya tulis yang disitasi 37 karya tulis lain. Namun, sebanyak 22 karya tulis (59 persen) buatan si penulis sendiri. Di dalam dokumen evaluasi PAK itu, ditulis pula tentang oknum dosen dengan jumlah sitasi tahun ini mencapai 239 sitasi.
Tim evaluasi juga menegaskan, self-citation sebenarnya tidak haram, tapi harus dilakukan dengan profesional dan proporsional. Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko menuturkan, menyitasi karya sendiri sebenarnya sudah masuk plagiasi. “Self-plagiarism,” katanya setelah meresmikan fasilitas CPOTB (cara pembuatan obat tradisional yang baik) di kompleks Puspiptek, Tangerang Selatan, kemarin (19/11).
Handoko menuturkan, praktik self-citation merupakan perbuatan yang kurang etis. Temuan sitasi yang mencurigakan atau tidak wajar sebaiknya diproses di komisi etika peneliti atau akademisi.
Dia menegaskan, menyitasi karya sendiri sejatinya tidak apa-apa selama relevan. “Tetapi, kalau over, ya jadi masalah,” kata dia. Bagi Handoko, orang-orang di komunitas peneliti pasti sudah paham ukuran sitasi karya sendiri yang masih wajar.
Ada beberapa keuntungan dengan self-citation yang berlebihan alias tidak wajar. Antara lain, menaikkan indeks-h (h-index) peneliti yang bersangkutan. Indeks itu menunjukkan seberapa tinggi kompetensi peneliti dengan mengukur seberapa banyak karyanya disitasi. Nah, ketika yang melakukan sitasi adalah diri sendiri, secara sistem karya itu memiliki indeks sitasi tinggi. “Seolah-olah h-index-nya tinggi. Padahal, dirinya sendiri (yang melakukan sitasi, Red),” tutur dia.
Dirjen Sumber Daya Iptek-Dikti (SDID) Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, dosen tidak perlu terobsesi indeks Scopus. Seharusnya mereka lebih fokus ke substansi dan kualitas penelitian serta kemanfaatan bagi masyarakat.
Dia menegaskan, Ditjen SDID tidak pernah mewajibkan dosen terindeks di Scopus. “Yang penting publikasi di jurnal yang bereputasi,” kata guru besar UGM itu. Dia menjelaskan, dengan tidak adanya kewajiban ke Scopus, seharusnya tidak perlu ada praktik-praktik tercela.
Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan (Risbang) Kemenristekdikti Muhammad Dimyati berpendapat, self-citation tidak dilarang asal memang yang disitasi adalah riset yang dilanjutkan. Namun, jika yang disitasi adalah riset yang tidak terkait, menurut dia, perilaku itu kurang elok. Sebab, ada etika dan aturan kepantasan untuk menyitasi karya sendiri.
Dimyati menuturkan, bagi peneliti, akan lebih elok menyitasi karya orang lain. Itu sekaligus menunjukkan seberapa luas bacaan dan literatur, juga jaringan peneliti.
Dia mengungkapkan, masalah sitasi pernah diperbincangkan saat pengukuran World Class University (WCU) menjadikannya sebagai salah satu syarat. Dimyati menceritakan, sebelumnya syarat pengukuran WCU adalah kompetensi, rasio dosen dengan mahasiswa, jumlah publikasi, dan syarat lain. Namun, dalam beberapa tahun terakhir diberlakukan juga syarat sitasi untuk sebuah publikasi.
Dimyati menjelaskan, idealnya, sitasi terjadi ketika sebuah publikasi menjadi rujukan utama atau rujukan pendukung oleh peneliti lain. Namun, karena ingin mendapatkan indeks-h yang tinggi, para peneliti atau dosen terkadang menghalalkan segala cara.
(wan/c11/oni)
Kategori : Berita Nasional