Perempuan Alami Problem Emosional Empat Kali Lipat Dibandingkan Pria
[ad_1]
Wikimedan – Masa remaja adalah masa yang paling indah. Demikian pendapat banyak orang. Namun tidak semua remaja bisa menikmati masa-masa indah ini.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan jiwa didefinisikan sebagai kondisi jiwa yang sehat. Seseorang dapat menyadari potensi diri sendiri, mampu mengatasi tekanan hidup, bekerja secara produktif, dan berkontribusi pada masyarakat. Namun dunia yang cepat berubah, dan perjalanan hidup yang serba cepat ikut memengaruhi kondisi tiap individu.
Data WHO menyebutkan gangguan kejiwaan di era sekarang ini sudah dimulai pada usia 14 tahun. Saat ini sudah menjadi trend remaja terjangkiti gangguan kesehatan jiwa, dengan kategori, ringan, sedang dan berat. Depresi, gelisah, stres, perubahan suasana hati atau bete, sangat umum dialami remaja.
Usia muda sudah mulai stres seiring dengan dinamika sosial dan tekanan dari lingkungan sekitar. Banyak orang menganggap stres bukanlah penyakit sehingga tidak perlu diobati. Padahal stres sebagai gejala awal gangguan kesehatan jiwa, bila individu tidak bisa mengelolanya lama-lama akan menjadi depresi.
Munculnya gangguan kesehatan jiwa pada usia muda ini sangat dipengaruhi lingkungan sosial. Dari hasil penelitian menyebutkan faktor kemiskinan, menikah muda, hamil di luar nikah, mendapatkan perlakuan diskriminatif, stigma, bullying, kekerasan dalam rumah tangga, putus asa, dan sebagainya bisa memicu anak-anak susah mengendalikan emosi. Bahkan yang umum dialami remaja apabila mengalami stres adalah gampang sakit perut, diare, takut berlebihan, hingga gangguan makan. Namun hal itu sering dianggap oleh orangtua bukan sebagai ancaman kesehatan jiwa.
Dari hasil penelitian Dewan Pakar Bakeswa Indonesia dr. Nova Riyanti Yusuf SpKJ, menyebutkan problem emosional justru paling banyak dialami perempuan dibandingkan laki-laki. “Perempuan mengalami problem emosional empat kali lipat dibandingkan laki-laki,” katanya, Rabu, (10/10).
Sedangkan sekolah umum, ujar dia, kecenderungannya memiliki risiko problem emosional tiga kali lipat daripada sekolah kejuruan. Sakit jiwa yang sudah akut ini umumnya akan diselesaikan dengan tindakan bunuh diri. Tindakan bunuh diri sebagai jalan terbaik untuk mengakhiri hidup tidak membahagiakan, kini mulai umum dilakukan remaja.
WHO memperkirakan angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia cukup variatif. Mulai dari 30.000 kasus pada 2015 kemudian turun menjadi 5.000 kasus pada 2010. Dan pada 2012 meningkat menjadi 10.000 kasus. Pada 2013 sebanyak 840 kasus. Jumlah tersebut yang terdata, sedangkan yang tidak terdata diduga seperti efek gunung es.
Secara global, WHO menyatakan ada 800.000 orang lebih di seluruh dunia yang meninggal akibat bunuh diri setiap tahunnya, dan ada lebih banyak orang lainnya yang melakukan percobaan bunuh diri.
WHO menambahkan, sebanyak 75 persen kasus bunuh diri di dunia terjadi di negara-negara yang berpendapatan ekonomi rendah dan menengah. Namun di negara maju seperti Amerika Serikat pun kasus bunuh diri marak dijumpai.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat menyebut setiap tahunnya 10.000 orang Amerika Serikat meninggal akibat bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar ketiga bagi anak-anak muda yang berusia antara 10 hingga 24 tahun di sana. Kurang lebih ada sekitar 4.600 anak muda yang meninggal akibat bunuh diri setiap tahunnya.
Kecenderungan mati muda dengan jalan bunuh diri juga mulai terlihat di Indonesia. Bunuh diri dilakukan dengan alasan sepele. Contohnya pada 2017, seorang siswa SD berusia 10 tahun di Manado bunuh diri karena tidak bisa meraih nilai tertinggi. Belum lama ini seorang siswa SMP nekat bunuh diri terjun dari apartemennya di Jakarta Selatan, karena takut menghadapi ujian bahasa Mandarin. Selain bunuh diri, remaja juga memilih narkoba sebagai pelarian dari segala bentuk tekanan.
Dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, terang Nova, Universitas Paramdina dan Bekeswa Indonesia mengadakan dialog terbatas dengan tema mengenali kesehatan jiwa pada remaja dan bagaimana penanganannya. Dalam diskusi terbatas ini juga dibahas masalah penanganan psikososial korban bencana gempa bumi dan tsunami di Palu, Sigi dan Donggala. Sejumlah relawan mahasiswa Universitas Paramadina bersama Bakeswa bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk membantu menangani persoalan psikososial kepada anak-anak dan remaja korban gempa.
Bertepatan dengan hari ulang tahun Bakeswa Indonesia yang kedua, dalam kesempatan tersebut juga disampaikan Universitas Paramadina dan Bakeswa Indonesia akan memulai inisiatif pemberian penghargaan kepada lembaga, institusi atau individu penggiat kesehatan jiwa yang peduli terhadap isu-isu kesehatan jiwa. Anugerah yang diberi nama Indonesia Mental Health Award ini akan diberikan kepada lembaga, instutisi atau individu yang memenuhi beberapa kriteria yakni kreatif, menciptakan sesuatu yang baru, sudah diimplementasikan ke masyarakat, pengobatan dengan cara modern dan berasaskan HAM. Terakhir adalah berbasis pada komunitas sosial.
(met/JPC)
[ad_2]