Perceraian Didominasi Gugat Cerai dari Pihak Perempuan
[ad_1]
Wikimedan – Perceraian biasanya ditempuh pasangan menikah yang merasa sudah tidak sepaham lagi. Penyebabnya pun beragam, bahkan berawal dari konflik kecil.
Mediasi sering kali tak menjadi titik temu bagi kebanyakan pasangan menikah yang melayangkan permohonan cerai. Alasannya kondisi hubungan mereka sudah berada dalam zona yang parah. Akibatnya kebanyakan mediasi tidak berhasil.
Hingga September tahun ini, tercatat sudah ada 458 kasus perceraian yang ditangani Pengadilan Agama Tarakan. Baik yang mengajukan gugatan maupun talak.
Keinginan untuk bercerai tentu harus disertai alasan, kebanyakan perceraian juga didominasi karena tidak ada lagi keharmonisan dalam rumah tangga. Ada juga karena perselisihan, salah satu pihak meninggalkan pasangannya, dan gangguan dari pihak ketiga.
“Yang mendominasi pernikahan itu lebih banyak karena perselisihan antara pasangan. Selain itu juga pasangannya yang dihukum karena menggunakan obat-obatan terlarang dan melakukan kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) juga menjadi salah satu penyebab keretakan dalam rumah tangga,” kata Muhammad Yusuf, panitera muda hukum Pengadilan Agama Tarakan dikutip dari Radar Tarakan (Jawa Pos Group), Jumat (19/10).
Walaupun begitu, Pengadilan Agama juga tentu melakukan berbagai cara agar pasangan menikah itu bisa rujuk kembali dengan mediasi sebelum persidangan. Mediasi juga dilakukan untuk mencari jalan keluar terlebih dahulu dan menasehati pasangan itu.
Dikatakannya walaupun juga dimediasi, hanya sebagian kecil saja yang akan rujuk kembali dan lebih banyak yang tidak berhasil. Di antara pasangan yang dimediasi, mereka umumnya dalam kondisi disharmonis yang parah. Seharusnya, mereka yang mengalami permasalahan rumah tangga dapat dimediasi saat masalah belum parah.
“Selama ini biasanya sudah sama-sama keras dan memang sudah ada keinginan untuk pisah, dan ada juga yang mau rujuk tetapi pasangannya sudah tidak mau lagi,” bebernya.
Pasangan bercerai juga kebanyakan mulai dari umur 20 hingga 40 tahun, dan didominasi oleh kaum perempuan yang menggugat cerai suaminya. Walaupun mengajukan gugatan cerai, belum tentu akan dikabulkan karena harus ada syarat yang perlu dipenuhi.
“Syaratnya itu harus bisa membuktikan perkara itu dengan wajib membawa saksi 2 orang ke persidangan dan saksi juga harus mengetahui atau membenarkan apapun masalahnya,” ungkapnya.
Yang tidak dikabulkan karena ada yang mencabut sendiri, ada juga yang rujuk kembali, ada yang tidak hadir, dan ada yang ditolak karena tidak memenuhi syarat. Mengajukan gugatan cerai juga ada yang gratis dan ada yang berbayar. Untuk yang tidak mampu akan digratiskan, tetapi harus membawa surat keterangan gakin.
“Tidak semuanya berbayar, tergantung situasi dan kondisi saja,” tutup Yusuf.
Menanggapi itu, psikolog Fanny Sumajouw, P.Si mengungkap jika bagi sebagian orang, kaum wanita itu dipandang sebagai kaum lemah dan rentan terhadap masalah.
“Sehingga sifat seorang wanita bergantung pada suami itu sangat kental, bahkan ketika mereka benar-benar dalam kondisi terpuruk. Tapi itu dulu, saat wanita masih hidup di bawah kekuasaan suami. Di mana otoritas tertinggi berada di tangan suami (kaum lelaki),” beber Fanny.
Lanjutnya, ketika seorang istri dalam masalah, sekarang ini istri sudah bisa dan mau bersuara untuk membela hak-haknya. Bahkan berani mengambil keputusan agar tidak selamanya dia berada dalam kekuasaan suami yang sewenang-wenang.
(jpg/est/JPC)
[ad_2]