Berita Nasional

Penjelasan ACT soal Fenomena Likuifaksi Yang Melanda Sulteng

Indodax


[ad_1]






Wikimedan – Di balik bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng), terdapat fenomena alam yang menimbulkan korban tidak sedikit. Fenomena itu disebut likuifaksi.





Berdasar data Aksi Cepat Tanggap (ACT), likuifaksi sudah beberapa kali terjadi di Sulteng. Dengan begitu seringnya, masyarakat setempat menyebut fenomena itu dengan istilah naledo.





Menurut Direktur Disaster Manajemen Institute of Indonesia (DMII) ACT Wahyu Novian, fenomena likuifaksi itu bisa terjadi lagi di lokasi yang sama, jika gempa kembali terjadi. Likuifaksi itu bisa menyebabkan banguan ambles seperti terisap tanah atau roboh.


Penjelasan ACT soal Fenomena Likuifaksi Yang Melanda Sulteng

Desa Langaleso, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang juga terkena likuifaksi setelah gempa 7,4 SR yang mengguncang sejumlah daerah di Sulteng. (Issak Ramdhani/Wikimedan)





Likuifaksi itu sifatnya tidak menghancurkan bangunan tetapi lebih merusak fondasi bangunan. Kondisi itu membuatbangunan menjadi miring hingga roboh. “Saat ini belum ada teknologi yang mampu mengatasi likuifaksi,” ujar Wahyu Novian dalam keterangan pers yang diterima Wikimedan, Selasa (9/10).





Wahyu menyebut, hingga saat ini diperkirakan ada 5 ribu orang yang masih tertimbun akibat likuifaksi di Petobo dan Balaroa. Mereka hampir dapat dipastikan sudah tidak bernyawa lagi.





Sementara itu, menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), likuifaksi atau berubahnya tanah jadi lumpur sehingga menelan bangunan di atasnya terjadi di tujuh lokasi. Yakninya di Petobo dan Balaroa (Kota Palu), Mpano, Sidera, Jono Oge, Lolu, dan Biromaru (Sigi).






Kondisi terparah terdapat di Perumnas Balaroa, Palu Barat. Lokasi itu berjarak 2,6 Km dari jalur sesar Palu-Koro. Akibat likuifaksi itu sebanyak 1.747 rumah mengalami rusak.






Kondisi serupa juga terdapat di Kelurahan Petobo Palu Selatan yang berjarak 1 Km dari Sesar Palu-Koro. Di sana terdapa 744 rumah rusak.





Arkeolog yang juga Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah Iksam mengatakan, daerah yang dilanda likuifaksi ini sebenarnya relatif baru dihuni. “Daerah Binomaru dan Petobo itu waktu saya kecil masih rawa-rawa karena itu bekas endapan sungai purba namun belakangan kemudian diuruk dan ditempati banyak rumah,” kata Iksam.





Di pihak lain, sebagaimana BNPB bersama Basarnas hanya melaksanakan proses pencarian dan evakuasi korban gempa Sulteng sampai pada Kamis (11/10). Setelah itu proses pencarian tidak dilanjutkan lagi.





Kepala BNPB Willem Rampangilei penghentian pencarian setelah masa tanggap darurat itu merupakan sudah sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) Badan SAR Nasional (Basarnas). Diketahui menurut SOP Basarnas pencarian korban hanya berlangsung tujuh hari. Sementara hingga Senin (8/10), proses pencarian telah berlangsung 10 hari sejak terjadinya gempa pada Jumat (28/9).





“Kalau tanggal 11 berarti sudah 14 hari,” ujar Willem Rampangilei di Graha BNPB, Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Senin (8/10).





Willem membeberkan beberapa pertimbangan lainnnya dalam penghentian korban gempa di Sulteng. Di antaranya, pada rentang waktu 14 hari, kondisi korban sudah dipastikan meninggal dunia. Jika dapat diselamatkan, kondisinya sudah tidak utuh. “Jenazah itu sudah sulit diidentifikasi, sudah rusak,” sebutnya.





Tidak hanya itu, faktor lainnya penghentian pencarian korban setelah hari ke-14 yakni kondisi jenazah sudah terkubur lama. Parahnya lagi jenazah itu dipastikan telah menularkan penyakit. “Kondisi itu akan membahayakan orang yang hidup,” tegas purnawirawan perwira tinggi TNI AL itu.





(iil/JPC)


[ad_2]

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *