Nama Sofyan Basir Kembali Disebut, Begini Respons Idrus Marham
Wikimedan – Nama Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir kembali disebut dalam sidang pemeriksaan terdakwa kasus suap PLTU Riau-1, Johannes B Kotjo. Menanggapi hal tersebut, mantan Menteri Sosial Idrus Marham menyerahkan nasib Sofyan Basir kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Loh nggak tahu saya (nasibnya Sofyan). Itu urusan penyidik, saya nggak mengerti. Jangan tanya ke saya,” kata Idrus sebelum menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jumat (16/11).
Menurutnya, lembaga antirasuah sendirilah yang bisa menilai apakah Sofyan terlibat atau tidak, dalam kasus dugaan suap yang juga menjerat dirinya ini.
“Apakah (Sofyan Basir) menerima janji, Pak Kotjo sudah jelaskan. Artinya biar orang yang punya kewenangan untuk itu (yang menjelaskan), akan lebih bagus,” tegas dia.
Lebih lanjut, Idrus mengatakan, fakta-fakta yang dikumpulkan oleh penyidik KPK inilah yang akan menguatkan dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus PLTU Riau-1 ini.
“Apakah ada fakta atau tidak itu penting biar seluruh proses-proses ini berjalan dengan baik. Dan tentu berdasarkan fakta-fakta kebenaran KPK semakin kuat,” pungkasnya.
Sebelumnya, dalam persidangan, Kotjo mengatakan Sofyan Basir menolak menggunakan sistem tender dalam pembangunan infastruktur ketenagalistrikan di Riau. Menurut Kotjo, Sofyan ingin proyek PLTU Riau-1 dikerjakan sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Dalam beleid itu disebutkan, pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan bisa dilakukan melalui kerja sama dengan pengembang pembangkit listrik (PPL), dengan komposisi 51 persen sahamnya dimiliki PLN atau anak perusahaannya.
Mendengar pernyataan Sofyan, Kotjo pun meminta mitranya yakni Direktur PT Samantaka Rudi Harlambang untuk menyiapkan dokumen persetujuan perjanjian. Belakangan, Kotjo diberitahu bahwa ternyata anak perusahaan PLN yang ikut menggarap PLTU Riau 1 yakni Pembangkit Jawa Bali Investasi (PJBI), tidak memenuhi ketentuan Perpres 4/2016. PJBI hanya menyetor 10 persen saham. Guna memenuhi kekurangannya, sejumlah lobi pun dilakukan.
Namun, Kotjo sempat mengaku keberatan dengan kalkukasi 41 persen yang harus ditanggung oleh investor dan perusahaannya, Blackgold Natural Resources. Saat menyatakan keberatan, ia mengaku diancam oleh Sofyan Basir karena merasa tidak dilibatkan dalam proyek tersebut.
“Waktu saya ke Beijing (temui China Huadian), PLN ancam kalau nggak mau ya sudah, kami cari yang lain saja,” ujar Kotjo saat menjalani pemeriksaan terdakwa di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/11).
“Pak Sofyan Pak dan Pak Iwan (yang bilang). Karena kan nggak semua investor mau saham minoritas (di proyek) tapi (juga) menanggung 41 persen (yang harusnya mereka tanggung),” lanjut dia.
Akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan. Terakhir, proyek tersebut tidak berjalan karena belum ada negosiasi tentang operator yang melakukan pemeliharaan.
Negosiasi terakhir, PLN meminta pemeliharaan dikuasai PLN setelah 15 tahun dan investor meminta pemeliharaan dikelola selama 20 tahun. “Tapi belum diputus, karena keburu OTT,” ucapnya.
Kotjo mengaku menyesal dengan sistem tersebut. Dia mengatakan murni memiliki keinginan untuk membangun listrik di Riau dengan harga yang murah. Namun, ia tersandung dengan sistem 51 persen yang malah lebih banyak mengeluarkan uang.
“Kalau tahu seperti ini ya saya tender saja tadinya. Kalau tender saya punya harga yang murah dan saya nggak usah kenal mereka. Kalau seperti ini pengeluaran membengkak,” pungkasnya.
(ipp/JPC)
Kategori : Berita Nasional