MASTEL Desak Menkominfo Rudiantara Segera Berlakukan Aturan OTT

Jakarta, Wikimedan – Menurunnya penggunaan layanan basic (SMS dan voice), dibarengi dengan rendahnya tarif data, membuat pertumbuhan operator tak sebaik tahun-tahun sebelumnya.
Tercatat, hingga semester pertama 2018, kinerja operator terus melorot. Bahkan sudah mengalami “negative growth” baik dari sisi pendapatan (-12,3%) dan juga EBITDA (-24,3%).
Alhasil, industri telekomunikasi diproyeksi tumbuh minus 6,4% pada 2018. Ini adalah kali pertama operator tumbuh minus, sejak teknologi selular diperkenalkan pertama kali di Indonesia pada 1993.
Selain pergeseran dari layanan dan tarif data yang rendah, pertumbuhan minus yang dialami operator tak bisa dilepaskan dari kehadiran layanan OTT (over the top). Terutama OTT asing, seperti Facebook, Google, Youtube, WhatsApp, Twitter, Instagram, dan lainnya.
Kehadiran OTT memang mendorong penggunaan layanan data lebih massif di masyarakat. Namun, trafik yang tinggi membuat OTT kini lebih terkesan menjadi benalu bagi operator.
Operator menilai layanan OTT asing tidak memberi sumbangsih apapun kepada operator. Padahal di satu sisi, selama ini OTT asing tersebut, menggunakan infrastuktur maupun jaringan data milik operator, menjalankan roda bisnisnya.
Merajalelanya OTT, terutama OTT asing dinilai sudah meresahkan. Apalagi sejauh ini OTT tidak membayar kewajiban dalam bentuk pajak. Pemerintah perlu segera bertindak agar industri selular bisa kembali sehat.
Menurut Ketua MASTEL (Masyarakat Telematika Indonesia) Kristiono, pemerintah kini tak bisa tinggal diam melihat agresifitas OTT yang semakin menggerus pendapatan operator.
“Pemerintah perlu segera bertindak agar industri selular bisa kembali sehat. Aturan menyangkut digital platform jangan lagi terus menerus ditunda karena ini menyangkut masa depan industri. Apalagi sejak awal menjabat pada 2014, Menkominfo Rudiantara menargetkan dapat segera merampungkan PM (Peraturan Menteri) OTT”, ujar Kristiono.
Kristiono menambahkan, saat ini indusri telekomunikasi sangat tidak sehat karena tarif jasa, khususnya layanan data di Indonesia merupakan yang termurah kedua di dunia setelah India. Bahkan harga layanan data cenderung terus turun.
“Di 2010 harga layanan data Rp1 per kilobyte, sekarang Rp0,0015 per kb. Harga murah ini tidak membawa dampak positif terhadap masyarakat maupun kinerja keuangan operator telekomunikasi. Justru hanya menguntungkan perusahaan layanan OTT di Indonesia”, kata Kristiono.
Desakan agar pemerintah segera memberlakukan aturan OTT, sesungguhnya sudah disuarakan sejak lama. Namun sejauh ini, Kemenkominfo masih terkesan tarik ulur untuk mengeluarkan aturan tersebut.
Dalam satu kesempatan, Rudiantara pernah menargetkan dapat menuntaskan PM tentang OTT pada Maret 2016. Alih-alih menyelesaikan PM tersebut, pada April 2016, Kemkominfo baru mengeluarkan draft uji publik PM OTT.
Aturan itu pun belum terealisasi dan (lagi-lagi) dijanjikan baru akan rampung pada akhir 2017. Namun hingga dua tahun berselang, hingga kini RPM OTT tak terdengar kabarnya sama sekali. Ada apa dengan Kemenkominfo?
Kategori : Berita Teknologi