Letak Kursi di Pesawat dengan Tingkat Kematian Tertinggi
Wikimedan – Letak Kursi di Pesawat dengan Tingkat Kematian Tertinggi. Memilih seat/kursi di transportasi umum merupakan salah satu hal yang sangat diperhatikan oleh para penumpang. Apalagi untuk transportasi moda pesawat terbang yang bisa menghabiskan waktu berjam-jam bahkan hingga seharian penuh di udara.
Khusus untuk pesawat terbang, sejumlah maskapai bahkan menarik biaya tambahan apabila penumpang ingin memilih kursinya sendiri. Ada orang yang lebih suka kursi di dekat jendela agar tidak terganggu saat tidur, sebagian lainnya lebih memilih kursi di deretan terdepan agar bisa lebih dahulu keluar dari pesawat saat sudah mendarat.
Namun, pernahkah Anda berpikir kursi mana yang paling aman dan tidak aman saat kondisi darurat?
Data statistik menunjukkan bahwa kursi tengah di barisan paling belakang pesawat adalah kursi yang paling aman.
Investigasi TIME yang mengamati data kecelakaan pesawat selama 35 tahun menemukan bahwa kursi tengah di barisan paling belakang pesawat memiliki tingkat kematian terendah, yakni 28%, dibandingkan dengan kursi lorong di barisan tengah pesawat yang dekat sayap, dengan tingkat kematian 44%.
Mengutip CNN Internasional, ahli penerbangan di Central Queensland University, Doug Drury mengungkapkan bahwa data TIME tersebut sangat masuk akal.
“Duduk dekat pintu keluar akan memberi Anda jalur penyelamatan tercepat dalam keadaan darurat, asalkan tidak ada api di sisi itu. Tapi sayap pesawat menyimpan bahan bakar, jadi kursi yang dekat sayap bukanlah opsi teraman,” ujar Doug dikutip Jumat (17/2/2023).
Dia menambahkan, untuk penumpang kelas bisnis yang pada umumnya ditempatkan di bagian depan pesawat, dalam situasi emergensi akan terkena dampak lebih dulu dibanding penumpang lain yang berada di belakang.
Adapun mengapa kursi tengah lebih aman daripada kursi jendela atau lorong dikatakannya karena terdapat buffer berupa penumpang lain di kedua sisinya.
Adapun pesawat yang menabrak gunung memiliki peluang keselamatan penumpang yang kecil, contohnya seperti yang terjadi pada Penerbangan Air New Zealand TE901 tahun 1979. Pesawat nahas tersebut menabrak lereng Gunung Erebus di Antartika dan menewaskan 257 penumpang dan awak kabin.
Selain itu, jatuh di laut dengan posisi ‘hidung’ pesawat terlebih dahulu juga mengurangi peluang untuk bertahan hidup, seperti yang terjadi pada insiden Air France Penerbangan 447 pada 2009, di mana 228 penumpang dan awak kabin tewas.
Doug mengungkapkan, pilot dilatih untuk meminimalkan potensi risiko dalam keadaan darurat sebaik mungkin. Mereka akan berusaha menghindari menabrak gunung dan mencari pendaratan tempat yang datar, seperti lapangan terbuka, untuk mendarat senormal mungkin.
Lebih lanjut, dia menambahkan bahwa jenis pesawat juga bisa mempengaruhi keadaan emergensi. Umumnya, pesawat yang lebih besar akan memiliki lebih banyak material struktural dan karenanya lebih kuat untuk menahan tekanan di ketinggian.
“Ini berarti pesawat besar dapat memberikan perlindungan tambahan dalam keadaan darurat, meskipun pada akhirnya semuanya sangat bergantung pada tingkat keparahan keadaan darurat,” pungkasnya.