Komen yang Merendahkan Perempuan, Dampaknya Besar Secara Psikologis
“Eh, liat deh pakaian cewek itu, paha dipamer-pamerin gitu. Pantes disiulin tukang ojek!”
“Maksudnya apa coba nge-post foto seksi gitu? Dasar cewek gatel.”
“Perempuan kok tingkahnya murah. Pasti banyak yang ‘pake’ deh.”
Komen merendahkan seperti ini terdengar familiar di telinga Anda?
Anda mungkin bertanya-tanya apa yang membuat persoalan ini begitu layak diangkat menjadi sebuah topik pembicaraan. Lagipula, apa salahnya, sih, sedikit berkomentar nyinyir? Apalagi kita tumbuh besar di tengah masyarakat yang hobi mempreteli “kecacatan” orang lain sebagai pembenaran untuk menjadi yang paling suci. Tunggu dulu. Dampaknya bisa fatal, lho!
Standar ganda merugikan korban kekerasan seksual
Kita sering mencoba untuk mengajarkan sesama agar menjunjung nilai dan moral pribadi. Ironisnya, kita juga berada di tengah masyarakat yang memperdagangkan seksualitas wanita. Menurut anggapan masyarakat, wanita yang sensual dan bertubuh seksi adalah tipe wanita idaman.
Namun jika Anda memenuhi kriteria ini, Anda malah akan merisikokan diri sendiri untuk dipermalukan dan dihakimi. Jika seorang perempuan dianggap “terlalu seksi” dan merenggut terlalu banyak perhatian, ia bakal dicap sebagai wanita yang melanggar kodrat, murahan, tidak suci, vulgar, hingga bahkan pelacur.
Di sisi lain, para lelaki yang memamerkan perut sixpack maskulin dan punya “portofolio” petualangan seks lengkap justru akan dipuja-puji atas pencapaiannya. Ini adalah esensi dari standar ganda.
Kaum Adam diharapkan untuk menginginkan dan mendapatkan seks tanpa dibatasi, sementara perempuan hanya diizinkan terlibat dalam aktivitas seksual ketika itu melibatkan cinta “sejati” atau pernikahan sah.
Pakaian terbuka bukan berarti undangan seks gratis
Alih-alih mengajarkan untuk menanamkan rasa hormat pada setiap orang, tubuh perempuan dipukul rata sebagai obyek pengundang nafsu birahi.
Ketika melihat berita perkosaan yang mendeskripsikan detail pakaian korban, beberapa dari kita mungkin otomatis jadi berpikir, “Salah sendiri jalan sendirian malem-malem pake baju begitu? Pantes aja diperkosa.” Hampir semua orang pernah melontarkannya, atau setidaknya pernah terbersit dalam benak mereka.
Tak jarang argumen memojokkan serupa juga dipergunakan oleh aparat penegak hukum dalam memproses kasus kekerasan wanita.
Ini kemudian makin menegaskan asumsi kolot bahwa perempuanlah satu-satunya pihak yang harusnya disalahkan atas “nasib” mereka sendiri. Hal ini juga semakin mewajarkan tindak kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat.
Dilansir dari Your Tango, penelitian profesor Raquel Bergen dari St. Joseph University tentang kekerasan terhadap perempuan mengungkapkan bahwa orang di sekitar cenderung untuk enggan menolong wanita yang mengenakan pakaian terbuka.
Menurut masyarakat, wanita yang berpakaian terbuka tidak lagi memiliki nilai dan martabat yang sama dengan wanita “sopan” pada umumnya sehingga ia tidak lagi berhak terhadap akses terkait perlindungan hak asasi manusia dasar, seperti keadilan. Ini memengaruhi semua perempuan tanpa pandang bulu, dari anak sekolah hingga wanita dewasa.
Komentar nyinyir sama dengan bullying
Perempuan diharapkan untuk menjadi versi terbaik dari dirinya, tapi juga terus dipojokkan ketika ia mewujudkannya dengan mulai aktif secara seksual, memiliki figur tubuh indah, atau dari cara berpakaian yang tidak sesuai “norma”.
Dengan kata lain, budaya suka komentar seksis mengajarkan kita untuk mempermalukan, menghina, atau merendahkan martabat perempuan yang ingin bebas menjelajahi identitas dirinya. Termasuk dari cara berpakaian dan perilaku tertentu sebagai ekspresi diri mereka.
Ini sebenarnya sama dengan upaya pelecehan pada siapapun yang menjadi buntut perkara. Tidak ubahnya tindak bullying yang bisa mengakibatkan kerugian serius pada kejiwaan seseorang.
Apa dampaknya pada mental wanita?
Pernah dengar peribahasa “pena lebih tajam daripada pedang” atau “mulutmu harimaumu”? Kira-kira begitulah prinsipnya. Jika luka fisik bisa disembuhkan, lain ceritanya dengan luka batin yang diterima dari pedasnya mulut warganet.
Perempuan yang berulang kali menjadi obyek komentar merendahkan kerap diselimuti oleh rasa bersalah, malu, tidak berharga, dan sakit hati sehingga luka ini dapat terwujud menjadi sebuah kepribadian diri yang sama sekali baru.
Wanita yang kerap menjadi buntut dari cemoohan seksis kerap mengalami goncangan jiwa berat yang menyebabkan trauma sampai kehilangan kepercayaan diri, isolasi diri, gangguan makan, trauma, kebencian terhadap diri sendiri, hingga depresi atau penyakit kejiwaan lain yang bisa dialami bahkan seumur hidup.
Maka, tak jarang banyak dari wanita-wanita korban bullying tersembunyi lama kelamaan merasa bahwa ia memang pantas diperlakukan demikian. Dalam hal ini disakiti, direndahkan, atau bahkan dieksploitasi secara seksual.
Victim-blaming dapat berakibat fatal
Konsekuensi dari upaya bullying misoginistik serta komentar seksis terhadap perempuan tak hanya mengorbankan kesejahteraan emosionalnya saja. Tidak sedikit pula wanita korban kekerasan yang sampai kehilangan pekerjaannya dari tindakan “main hakim sendiri” ini.
Pada kebanyakan kasus, upaya victim-blaming justru berakhir fatal — seperti bunuh diri. Dilansir dari Liputan 6 News, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan sekitar 40 persen anak remaja Indonesia meninggal karena bunuh diri akibat tak tahan menjadi korban bullying.
Seorang perempuan remaja berinisial ES asal Medan, ditemukan tewas setelah menenggak racun rumput karena ia tak sanggup menanggung aib sebagai korban perkosaan sementara kasusnya diremehkan oleh kepolisian, seperti yang dilaporkan Tribun News.
Sementara itu, laporan dari Pojok Satu menyebutkan seorang perempuan belia korban perkosaan asal Deliserdang juga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya lantaran pihak kepolisian memaksanya untuk berdamai dan menikah dengan si pelaku.
Stop nyinyirin korban kekerasan seksual!
Pelajaran yang bisa dipetik dalam hal ini adalah untuk berpikir seribu kali sebelum Anda menghardik atau melontarkan komentar merendahkan berdasarkan apa yang mereka kenakan atau cara mereka bertindak.
Seksisme dan budaya misoginistik adalah masalah nyata yang perlu diberantas habis. Perilaku ini bisa memiliki konsekuensi merugikan yang bersifat abadi bagi perempuan.
Kategori : Berita Kesehatan