Jelang Vonis SAT, Kepastian Hukum di Indonesia Disorot
[ad_1]
Wikimedan – Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) yang dituntut hukuman penjara 15 tahun ditambah denda Rp 1 milyar subsider enam bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terus menuai sorortan.
Rencananya, majelis hakim Pengadilan Tipikor akan membacakan keputusannya terhadap SAT pada Senin (24/9) yang akan datang.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menilai, vonis hakim Pengadilan Negeri Tipikor terhadap SAT merupakan salah satu tolok ukur jaminan kepastian hukum di Indonesia.
Bila SAT dibebaskan, hal tersebut membuktikan hakim menghormati kepastian hukum. Namun bila SAT dijatuhi hukuman penjara, hal tersebut bisa dipersoalkan dunia usaha sebagai bukti tidak adanya konsistensi kebijakan negara.
Diketahui, SAT diperkarakan KPK karena memberikan surat keterangan lunas (SKL) kepada pemegang saham BDNI pada 2004, yang dianggap KPK sebagai penyalahgunaan wewenang serta memperkaya orang lain dan korporasi.
Karena itu, lanjut Fadhil, majelis hakim seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas mengingat kasus ini menjadi perhatian masyarakat, khususnya oleh kalangan dunia usaha.
“Saya melihat Tindakan SAT sebenarnya menjalankan keputusan politik pemerintah yang sedang berusaha keras bisa keluar dari krisis ekonomi. Pemberian SKL tersebut dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pengusaha yang koperatif dan telah memenuhi kewajibannya,” papar Fadhil sebagaimana dilansir dari Jpnn (JawaPos grup).
Sesuai data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) masih banyak obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga saat ini tidak koperatif dan sengaja menghindari kewajiban mereka.
Karena pemegang saham BDNI telah membayar kewajibannya sesuai skema Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) pada 1999. Sesuai UU No 25/2000 debitur BLBI yang telah menandatangani dan memenuhi MSAA diberikan jaminan kepastian hukum, yang kemudian disusul Inpres No 2 Tahun 2002 bahwa debitur yang kooperatif akan diberikan kepastian hukum.
Sebelumnya, Chairman InfoBank Institute, Eko B Supriyanto, dalam analisisnya membeberkan sejumlah kejanggalan, yang memperlihatkan kelemahan tuduhan jaksa KPK.
Salah satunya, masalah kerugian negara. Sebab ketika BPPN dibubarkan maka hak tagih beralih ke Kementerian Keuangan. BPPN telah menyerahkan hak tagih atas aset BDNI senilai Rp 4,8T pada 2004, namun kemudian aset tersebut dijual oleh Menkeu pada 2007 senilai Rp 220 M. Jadi yang menjual aset tersebut bukan SAT ketika menjadi Ketua BPPN, melainkan Menteri Keuangan saat itu.
(jpg/JPC)
[ad_2]