Teknologi

Dirut Indosat Dijabat Asing, Saham Dwi Warna Tak Berlaku?

Indodax


Jakarta,
Wikimedan
– Ditengah penurunan kinerja perseroan yang terjadi
sepanjang 2018, Dirut dan CEO Indosat Ooredoo Chris Kanter mendadak
mengundurkan diri. Lengsernya Chris tak berapa lama setelah perusahaan
menggelar RUPS tahunan di Kantor Pusat Indosat Ooredoo, Jakarta, Kamis (2/5/2019).

Tak ada penjelasan mengapa Chris yang baru menahkodai Indosat
enam bulan lalu itu, memutuskan untuk mundur dari posisinya itu.

Surat yang disampaikan oleh Presiden Komisaris Ooredoo,
Waleed Mohamad Al-Sayed, hanya menjelaskan bahwa posisi Chris Kanter digantikan
Ahmad Abdulaziz Alneama sebagai CEO, efektif sejak 2 Mei 2019.

Mundurnya Chris yang terkesan mendadak, tentu saja menimbulkan
spekulasi. Salah satunya dikarenakan tidak kunjung direalisasikannya
Capex sebesar USD2 Miliar.

Seperti diketahui, usai terpilih sebagai Dirut pada Oktober 2018 lalu, Chris memaparkan bahwa dirinya berencana mengalokasikan capex senilai USD2 miliar atau sekitar Rp30 triliun dalam dua tahun kedepan.

Baca juga: Indosat Ooredoo Tunjuk CEO Baru Gantikan Chris Kanter

Capex
tersebut akan digunakan  meningkatkan
belanja modal demi memperluas cakupan 4G, setelah bertahun-tahun perusahaan kekurangan
belanja investasi.

Selular pun mencoba menghubungi langsung Chris Kanter melalui pesan
singkat. Namun hingga berita ini diturunkan dirinya belum memberikan jawaban.

Terlepas dari berbagai spekulasi, drama pengunduran diri
Chris sebenarnya terbilang by design.
Pasalnya, rentang waktu antara lengsernya Chris dengan keluarnya surat resmi
yang menjelaskan penunjukkan Ahmad Abdulaziz Alneama sebagai CEO hanya dalam hitungan
jam saja.

Sumber Selular menyebutkan bahwa mundurnya Chris akan memberi
jalan kepada Ahmad Abdulaziz Alneama, bukan sekedar menjadi CEO saja, namun juga
menjadi Direktur Utama. Itu sebabnya, pasca pengunduran diri sebagai dirut,
Chris kembali ke posisi sebelumnya sebagai komisaris.

Peran Chris sebagai komisaris sangat dibutuhkan, terutama
untuk melobi pemerintah. Dalam hal ini, Chris punya tugas penting yakni meminta
kepada pemerintah agar bersedia melepaskan posisi dirut kepada eksekutif langsung
dari Ooredoo.

Pasalnya, selama ini posisi dirut terganjal oleh saham dwi warna yang dimiliki oleh pemerintah. Seperti diketahui, saham dwi warna atau golden share hanya berjumlah satu lembar saham, namun bernilai strategis.

Baca juga: Chris Kanter Mundur dari Dirut Indosat

Meski kepemilikan pemerintah di Indosat minoritas, akan
tetapi melalui saham dwi warna itu pemerintah memiliki hak veto yang besar
terhadap pengendalian dan rencana bisnis perusahaan. Salah satunya pemerintah bisa mengusulkan Dewan Direksi dan‎ Dewan
Komisaris.

Jika pada akhirnya Ahmad Abdulaziz Alneama
menjadi Dirut/CEO Indosat Ooredoo, ini adalah sejarah baru bagi perusahaan.

Pasalnya, sejak mengambilalih saham mayoritas dari STT
Singapura pada 2008 silam, Qatar Telecom (kini Ooredoo) tak pernah bisa
menempatkan orang kepercayaan langsung pada posisi puncak. Hal ini berdampak
pada tingkat kepercayaan induk usaha yang berbasis di Doha, Qatar.

Penunjukkan Ahmad Abdulaziz sebagai orang nomor satu di
Indosat Ooredoo, dapat meningkatkan level
confident
Ooredoo Group terhadap operasi bisnisnya di Indonesia.

Hal ini diprediksi akan membuat aliran investasi kembali
mengucur. Sehingga belanja dana untuk pembangunan jaringan, terutama BTS 4G
dapat sesuai dengan target yang ditetapkan.

Sekedar diketahui, sebagai induk usaha, Ooredoo terakhir kali
menggelontorkan dana investasi senilai Rp 15 triliun kepada Indosat. Dana
tersebut digunakan untuk memodernisasi jaringan, saat Indosat dikomandani oleh
Alexander Rusli (2012 -2017).

Tampilnya Ahmad Abdulaziz sebagai CEO Indosat yang baru sesungguhnya juga tidak mudah,
apalagi kinerja perusahaan merosot sepanjang 2018. Laporan keuangan 2018
menunjukkan, Indosat menelan rugi bersih Rp 2,4 triliun. Padahal pada 2017
masih mencatatkan laba Rp 1,13 triliun.

Kinerja mengecewakan Indosat disebabkan
anjloknya pendapatan hingga 22,68% atau Rp 6,6 triliun. Pendapatan operator
yang identik dengan warna kuning itu, pada 2018 tercatat hanya Rp 23,14 triliun,
sementara setahun sebelumnya sebesar Rp 29,93 triliun.

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *