Denny dan 1000mata Salurkan Kacamata Bekas
Denny Heribertus menemukan fakta bahwa lansia di daerah terpencil butuh kacamata bukan hanya untuk membaca. Melainkan juga agar lebih mudah memasukkan benang ke jarum dan menyisihkan kerikil dari beras.
BAYU PUTRA, Jakarta
—

UDAH sepuluh hari belakangan layar ponsel Denny Heribertus dipenuhi notifikasi. Ratusan pesan pribadi masuk setiap hari, nyaris tanpa henti. Mayoritas dari orang-orang yang tidak dia kenal. “Ini hoax atau tidak?” ”Programnya apakah masih berjalan?” itulah yang rata-rata ditanyakan para pengirim pesan tersebut.
Semua berawal dari sebuah poster digital. Dalam poster itu, terpampang wajah seorang nenek berbaju merah dan mengenakan kacamata berbingkai hitam. Nyaris seluruh rambutnya memutih. Dia tersenyum lebar memperlihatan giginya yang tinggal dua. Di bagian atas poster, tertulis huruf besar-besar: JANGAN BUANG KACAMATA BEKASMU. Di bagian bawah poster, ada penawaran donasi kacamata beserta alamat pengiriman.
Dalam hitungan hari, poster tersebut menjadi viral di linimasa. Orang pun beramai-ramai menyerbu situs 1000mata yang dicantumkan di poster dan mendapati nomor telepon Denny. “Saya juga tidak menyangka akan viral,” ujar koordinator Program Sejuta Kacamata untuk Indonesia itu.
Saat Jawa Pos datang ke kantor Denny di kawasan Jatipulo, Jakarta Barat, Rabu lalu (21/11), seorang staf sedang menerima kiriman kacamata dari ojek online. Di ruang depan terdapat dua dus ukuran jumbo yang berisi tumpukan kacamata bekas. Tentu beserta wadahnya. Salah satunya, kacamata dengan merek asal Italia yang label harganya masih menempel di kotak dan tertulis angka Rp 3.400.000.
Donasi kacamata bekas tersebut, tutur Denny, awalnya adalah proyek iseng. Sebab, sejak bergerak tiga tahun silam, Denny dan sekitar 70 relawan yang tergabung dalam komunitas 1000mata selalu mendonasikan kacamata baru. Mereka menghimpun dana dari para dermawan, lalu memeriksa mata dan membelikan kacamata bagi warga tak mampu di berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan rutin itu sudah berlangsung 30 kali dengan total donasi lebih dari 25 ribu kacamata.
Kemudian, Denny mendapat ide untuk menghimpun kacamata bekas. “Karena orang pasti akan ganti kacamata. Bisa karena bosan atau kekecilan,” lanjutnya. Ketimbang disimpan menjadi kenangan atau bahkan dibuang, dia bermaksud menampung dan menyalurkan kacamata bekas itu kepada warga tak mampu. Jadilah program sejuta kacamata untuk Indonesia.
Denny menjelaskan, dari kacamata tersebut, yang akan digunakan hanya bingkainya. Sedangkan lensanya akan diganti dengan yang baru. Kumpulan lensa bekas tersebut untuk sementara disimpan, sampai ketemu ide lain untuk memanfaatkannya. Karena itu, donasi kacamata bekas tersebut secara langsung juga membuat pos pembelian frame kacamata berkurang. Dengan demikian, bisa lebih banyak lensa yang dibeli.
Meski menggelar donasi kacamata, Denny dkk juga tetap menerima donasi uang. Dana tersebut untuk membeli lensa kacamata baru. “Untuk operasional, kami pakai uang pribadi. Termasuk biaya perjalanan ke berbagai daerah,” lanjut pria yang memiliki usaha di bidang periklanan tersebut.
Dari situ, Denny mendapati fakta menyedihkan terkait kesehatan mata di Indonesia. Belum banyak masyarakat di daerah yang peduli dengan kesehatan mata. Sebagian besar menganggap kondisi yang mereka alami adalah normal. Meski buram bila melihat benda di kejauhan. Padahal, bila melihat dalam kondisi semacam itu, mata akan mudah lelah karena saraf terus bekerja keras sepanjang waktu. ”Kalau terus dibiarkan, dalam jangka panjang ada risiko kebutaan,” ucap pemilik mata minus 1,25 itu. Hal itulah yang belum banyak diketahui masyarakat, terutama di wilayah yang akses informasinya masih rendah.
Saat berkunjung di daerah, tidak jarang dia mendapati kasus yang sudah cukup parah. ”Relawan kami pernah mendapati orang dengan kondisi mata minus 5,” ungkap pria kelahiran 1974 itu. Dia nyaris tidak bisa melihat. Memang, ada sebagian yang sadar bahwa kondisi matanya tidak normal.
Namun, apa daya, kondisi ekonomi memaksa mereka memprioritaskan kebutuhan perut ketimbang mata. Saat itulah Denny dkk hadir di tengah-tengah mereka. “Ketika dipakaikan kacamata, baru mereka sadar, oh ternyata jadi terang ya,” ucapnya.
Denny menuturkan, 1000mata tidak memberikan kacamata kepada semua orang tak mampu. Pihaknya membatasi usia penerima kacamata. Pertama, anak-anak usia 7-15 tahun. “Karena mereka punya distance (jarak) pupil yang mirip-mirip. Sehingga kami bisa sediakan kacamata yang mirip-mirip,” ucapnya. Apalagi, anak-anak merupakan usia sedang semangat-semangatnya belajar. Kedua, lansia yang dimulai dari usia 45 tahun. Rata-rata penglihatan mereka mulai berkurang sehingga untuk jarak dekat susah melihat.
Kasus anak dengan minus tinggi banyak dia jumpai di perkotaan. Denny menganalisis, penyebab mata minus di kalangan anak-anak adalah gaya hidup. Misalnya, perilaku yang salah dalam menonton televisi atau bermain gadget. Juga, kurangnya nutrisi akibat terlalu sering mengonsumsi makanan instan. ”Kalau di daerah terpencil, malah jarang kami temukan anak-anak yang minus tinggi,” lanjutnya.
Karena itu, di pelosok, Denny dkk selalu fokus menangani lansia. Mereka yang masih usia produktif hanya diizinkan mengikuti pemeriksaan mata secara gratis. Namun, mereka tidak akan mendapat donasi kacamata.
Bagi para lansia, fungsi kacamata beda lagi. Tidak sedikit yang merasa terbantu bukan untuk membaca. Melainkan menenun dan memasukkan benang ke jarum. Mereka senang karena akhirnya bisa merajut dan menenun dengan jelas. Mereka juga gembira karena bisa memisahkan kerikil dari beras.
Selama tiga tahun belakangan, Denny dkk sudah berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia. Berawal dari kawasan pinggiran Jakarta pada 2015, kemudian berkembang hingga daerah-daerah terpencil. Beberapa di antaranya Pulau Mentawai, pedalaman Kalimantan, hingga ke Kepulauan Kei di Maluku Tenggara. Tepatnya di Pulau Larat, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara.
Di setiap daerah, Denny memiliki kesan tersendiri. Pulau Mentawai, misalnya. Denny datang saat ombak sedang tinggi pada Agustus. Kapal yang dia tumpangi harus berjuang melawan ombak. Perjalanan yang umumnya butuh waktu tiga jam ditempuh empat jam. Ada kalanya kapal terpaksa berhenti di tengah laut karena mustahil melawan alam. “Kalau nambah satu jam lagi mungkin saya sudah tumbang,” tuturnya.
Sambutan masyarakat begitu luar biasa. Di pedalaman Kalimantan, Denny dkk disambut dengan upacara adat dan tari-tarian. “Saat itu sedang pilkada, sampai-sampai Bawaslu setempat datang melihat ada kegiatan apa,” kenang Denny, lantas tertawa. Begitu pula di Larat, dia disambut dengan jamuan adat bakar batu.
Dari situ, sekilas terkesan bahwa masyarakat setempat sebenarnya mampu membeli kacamata. Rupanya, ada persoalan lain. ”Di daerah-daerah itu tidak ada toko optik,” ujar pria 44 tahun itu. Bila mau membeli kacamata, mereka harus ke ibu kota kabupaten.
Masyarakat begitu senang mendapatkan kacamata. Bahkan, ada yang langsung memakainya untuk membaca. Denny lalu melihat stiker label kacamata itu masih menempel dan bermaksud melepasnya. Namun, ibu yang mendapatkan kacamata tersebut menolak. ”Jangan dilepas, biar terlihat baru terus,” ucapnya menirukan ibu setengah baya itu.
Untuk menemukan orang yang butuh kacamata, Denny bekerja sama dengan aparat desa setempat. Merekalah yang mencari warga kurang mampu yang diduga mengalami gangguan penglihatan. Pada hari yang ditentukan, mereka berkumpul untuk memeriksakan mata dan memperoleh kacamata baru.
(*/c10/oni)
Kategori : Berita Nasional