Blak-blakan, Gubernur Jenderal NRFPB Bicara Separatis di Papua
Wikimedan – Masih teringat jelas di benak Markus Yenu mengapa dia memilih bergabung dalam gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM). Jiwanya terpanggil melihat perlakuan pemerintah di bawah kekuasaan Presiden Soeharto kala itu, terhadap rakyat Papua.
“Namanya Soeharto itu, jangankan lawan, tidur mimpi saja, bangun kita ditangkap. Apa yang dilakukan Thomas Wanggai aspirasi murni rakyat Papua,” kata Markus saat ditemui Wikimedan beberapa waktu lalu di Manokwari, Papua Barat, Minggu (16/12).
Dia terkenang, waktu itu, masyarakat Papua tidak bisa apa-apa. Para aktivis OPM ditangkap dan bahkan ada yang ditembak mati. Baru lah setelah reformasi, para tokoh Papua yang sempat dipenjara akhirnya dibebaskan.
“Kita dapat kesempatan juga lewat Pak Gus Dur, Papua bisa sampaikan informasi. Kita tetap hargai bangsa ini, negara ini,” imbuhnya.
Sayangnya, seiring waktu berjalan dan beberapa kali ganti pemimpin di negeri ini, masyarakat Papua katanya tak juga merasakan kesejahteraan dan tertinggal. Terlebih, kekayaan alam mereka dikelola asing dengan hadirnya Freeport milik perusahaan asal Amerika Serikat.
Kalaupun ada kewenangan yang besar diberikan kepada Papua paska munculnya UU Otonomi Khusus (Otsus), hanya segelintir yang menikmati. Bukan masyarakat Papua itu sendiri terutama tokoh pergerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Papua.
Mereka yang duduk manis di balik meja pemerintah daerah lah yang menikmati dana miliaran hingga triliun dari pemerintah pusat itu. “Kalau hari ini yang lakukan perlawanan itu KKB, dibilang separatis, yang separatis itu orang yang kerja untuk negara. Bupati, gubernur, mereka separatis, teroris,” tegas Markus.
Gubernur Jenderal Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) itu mengatakan, birokrasi di Papua pun terbilang nepotisme. Sebab mereka yang duduk di pemerintahan sebagian besar trah dari pemimpin itu sendiri.
“Bupati punya anak, sekda, kabag punya anak. Kita-kita (tokoh pergerakan) tidak ada. Dana Otsus itu akibat apa yang kita kerja. Sementara kita tidak rasakan Otsus. Habisnya di atas,” kesal Markus.
Memang, permasalahan di Papua bukan muncul baru beberapa hari atau bulan. Permasalahan ini cukup mengakar hingga keinginan untuk merdeka selalu muncul.
Namun hingga kini, tidak ada satupun solusi yang ditawarkan. Adanya pembangunan infrastruktur, menurut Markus bukan solusi untuk mereka.
“Jembatan layang dibangun. Nggak ada jembatan, itu di Jayapura yang dibangun, bukan rumah tingkat, jalan segala macam, yang dibangun manusianya,” ungkap Markus.
Hingga kini pun, komunikasi tidak berjalan dua arah. Padahal diskusi antara tokoh-tokih di Papua dengan pemerintah pusat diperlukan untuk mencari solusi atas permalasahan yang sudah mengakar ini.
“Simpel saja. Jakarta datang, duduk bersama, selesai,” tutur Markus.
Sayangnya, kalaupun saat ini Presiden Joko Widodo datang ke Papua, dia bukan berkomunikasi dengan tokoh-tokoh pergerakan melainkan para kepala daerah yang juga tak memperhatikan rakyatnya.
“Jokowi bagi kami kucing bencana. Datang, pulang terjadi konflik. Kalau mau datang, ketemu langsung tokoh-tokoh yang dianggap siapa speratis, pemberontak. Bukan datang ketemu gubernur, omong kosong saja,” pungkas Markus. (DNA)
(dna/JPC)
Kategori : Berita Nasional