Teknologi

Benarkah 5G Lahir Prematur di Indonesia?

Indodax


Jakarta, Wikimedan – Benarkah 5G Lahir Prematur di Indonesia? Layanan 5G kini bukan lagi angan-angan. Menyusul Telkomsel, Indosat Ooredoo juga telah resmi memperkenalkan teknologi tersebut kepada masyarakat dan dunia usaha di Indonesia.

Meski coverage dan jenis-jenis layanan yang ditawarkan kedua operator  saat ini masihnya terbatas, namun diluncurkannya 5G tentu merupakan langkah maju. Pasalnya, kehadiran 5G dapat mendorong tumbuhnya ekonomi digital lebih massif lagi. Sebagai penggerak industri 4.0, layanan 5G juga memangkas kesenjangan pembangunan, sekaligus meningkatkan daya saing (competitiveness advantage) Indonesia di masa depan.

Seperti kita ketahui, dengan kecepatan hingga 1 Gbps, 5G tak hanya dirancang untuk menyediakan unduhan konten yang lebih cepat, tetapi juga sejumlah aplikasi lain yang dapat mengubah cara pengguna melakukan aktivitas sehari-hari. Begitu pun dengan dunia usaha, terutama segmen manufaktur dan jasa yang akan merasakan manfaat terbesar dari kehadiran 5G.

Hal ini akan mendorong beragam inovasi seperti pengembangan smart cities, drone, mengemudi mandiri (autonomous car), layanan medis digital, penyebaran IoT (Internet of Things) dan layanan berbasis robotics lainnya.

Dengan tujuan Indonesia menjadi salah satu dari lima kekuatan ekonomi terbesar di dunia pada 2045, maka transformasi digital merupakan elemen penting bagi perusahaan dalam mempercepat pertumbuhan. Kehadiran 5G diharapkan dapat mempercepat peralihan dari ekonomi berbasis sumber daya ke ekonomi berbasis pengetahuan dan digital.

Kajian ITB (Institut Teknologi Bandung) yang diterbitkan pada 2020, menunjukkan kontribusi jaringan 5G terhadap PDB mencapai 9,8% pada 2035. Pada tahun tersebut, PDB Indonesia diestimasikan mencapai angka Rp 3.549 triliun. Dengan catatan, 5G mulai bergulir pada 2021. Sedangkan dari sisi industri, vendor jaringan asal Swedia Ericsson, memperkirakan operator selular bisa meraih sampai US$44,2 miliar atau sekitar Rp 624 triliun pada 2030.

Dengan layanan 5G yang ternyata dapat diluncurkan lebih cepat dari perkiraan, Indonesia kini sejajar dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, yang juga sudah meluncurkan 5G, seperti Singapura dan Vietnam.

Peluncuran 5G oleh Telkomsel dan Indosat Ooredoo dengan sendirinya menjungkirkan berbagai pandangan tentang sumirnya layanan itu di Tanah Air. Sebelumnya banyak kalangan menilai, Indonesia diprediksi akan tercecer dalam persaingan 5G.

Pasalnya, regulator dinilai tidak memiliki road map yang sangat penting dalam memandu penerapan 5G. Sesuatu yang memang tidak pernah dibeberkan secara terbuka. Pandangan ini bukan tanpa sebab. Karena menyangkut adopsi 5G, pemerintah sebelumnya juga menyatakan tidak ingin terburu-buru.

Dalam satu kesempatan, Menkominfo Johnny G. Plate, mengatakan bahwa jaringan 5G akan dibuka secara bertahap. Ia menolak mengatakan kapan persisnya 5G dapat beroperasi karena berbagai pertimbangan.

“Kalau ambisi, kita juga ingin. Tapi semua ada tahapannya. Saat ini di wilayah kedaulatan kita ada yang 2G, 3G dan 4G. Kita harus selesaikan yang masih tersisa dulu,” ujar Johnny di Jakarta, Senin (28/10/2019).

Ketersediaan Frekwensi

 

Harus diakui, untuk sampai pada implementasi 5G, banyak persiapan yang ditempuh. Selain dari sisi infrastruktur, bisnis model, dan investasinya, terutama untuk spektrum dan peralatannya.

Sekedar diketahui, untuk mengembangkan 5G Telkomsel menggunakan spektrum eksisting, yaitu 2,3 Ghz selebar 30 Mhz. Sedangkan Indosat Ooredoo memanfaatkan 20 Mhz pada frekwensi 1.800 Mhz yang dimilikinya.

Sebelum pernyataan Johny Plate itu, lembaga-lembaga internasional menilai implementasi 5G di Indonesia, diprediksi bakal terlambat. Moody Internasional misalnya, dalam kajian yang diterbitkan pada Juni 2019, menilai bahwa Indonesia akan tercecer dalam perlombaan 5G di Asia Tenggara.

Laporan Moody tersebut mencakup 20 perusahaan layanan telekomunikasi di 11 negara di Asia Pasifik, dan mengklasifikasikan negara-negara ini menjadi pelopor, pengguna awal, dan pengguna akhir.

Laporan ini melihat lima faktor: spektrum berlisensi, infrastruktur jaringan, uji coba teknologi, dukungan peraturan dan kebijakan, serta permintaan potensial untuk 5G di Indonesia.

Dengan kondisi yang ada, Moody menyimpulkan bahwa Indonesia diperkirakan baru bisa menerapkan teknologi 5G pada 2022 – 2023. Apalagi, sampai saat ini pemerintah belum menentukan spektrum yang akan digunakan untuk jaringan 5G.

Sebelumnya, Kominfo menyebutkan terdapat sejumlah kandidat pita frekuensi yang bisa menjadi pilihan teknologi 5G sesuai rekomendasi ITU (Internasional Telecom Union), seperti 2,6 GHz dan 3,5 Ghz. Masing-masing spektrum memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, persoalan yang mendasar dari spectrum tersebut umumnya masih digunakan untuk kepentingan berbeda oleh pihak lain.

Saat ini ekosistem 5G yang ideal ada di frekuensi 3,5 GHz. Terlebih sudah banyak yang mengunakannya dan secara matang dimanfaatkan di negara-negara lain. Sehingga memudahkan vendor handset dan equipment manufacturer untuk men-deploy jaringan 5G. Dengan besarnya skala bisnis maka hal ini akan mendorong penurunan harga di tingkat konsumen.

Persoalannya, saat ini frekwensi 3,5 Ghz masih digunakan untuk kepentingan bisnis satelit, termasuk oleh PT Telkom. Begitu pun dengan 2,6 Ghz yang kini dikuasai MNC Group untuk kepentingan penyiaran televisi berbayar.

Ekosistem Digital

 

Di sisi lain, Ismail, Dirjen SDPPI Kementerian Kominfo mengatakan untuk menggelar 5G tidak cuma frekuensi yang disiapkan, tapi juga end-to-end ecosystem. Selain itu, instalasi infrastruktur 5G juga berbeda dengan teknologi 4G atau generasi internet sebelumnya.

“Karena tidak semata-mata pengalaman pengguna, tapi ada isu lain yang bisa kita bangun di sana, terkait use case critical mission misalnya, yang tidak terbayangkan ketika kita membangun 4G yang meningkatkan kecepatan data saja,” jelas Ismail dalam sebuah diskusi membahas rencana implementasi 5G di Jakarta (24/9/2020).

Ismail mengatakan pemerintah tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti saat membangun 4G. Salah satunya adalah infrastruktur yang kurang siap sehingga kecepatan 4G yang dirasakan pengguna kurang maksimal.

“Kita harapkan untuk 5G digelar ketika infrastruktur inti sudah siap, kemudian backhaul siap, hubungan antar middle mile siap. Begitu pun hubungan antar BTS sehingga tidak terjadi hambatan di infrastruktur,” pungkas Ismail.

Standard layanan 5G sejatinya membutuhkan spektrum dengan lebar sampai 100 MHz. Sedangkan 5G yang saat ini dikembangkan oleh Telkomsel dan Indosat Ooredoo – untuk tahap awal – memiliki rentang maksimal 30 MHz. Jika dipaksakan lebih dari itu, akan berdampak pada QoS (quality of service) pelanggan pada jaringan 2G, 3G dan 4G.

Memang saat ini, tidak ada aturan mengenai standar kualitas layanan untuk teknologi 5G. Artinya, operator bebas mengklaim jika kecepatan berapa pun adalah 5G. Alhasil, dengan rentang frekwensi yang terbatas, 5G yang dihadirkan operator saat ini, sejatinya bisa dibilang belum maksimal, terutama dalam menyasar kalangan industri.

Meski dapat disebutkan bahwa 5G lahir prematur, namun tentu saja hal itu bukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab operator. Pasalnya, ketersediaan frekwensi yang mendukung jaringan 5G agar lebih maksimal, merupakan domain pemerintah.

Di sisi lain, peluncuran 5G oleh Telkomsel dan Indosat Ooredoo perlu diapreasi. Mengingat industri telekomunikasi sesungguhnya “tidak baik-baik saja”, akibat rendahnya tarif dan persaingan ketat imbas banyaknya pemain yang masih beroperasi. Pasca merger XL Axiata – Axis pada 2013, tak ada lagi konsolidasi operator di Indonesia.

Meski pendapatan tak lagi mewah, operator tetap dituntut untuk membangun jaringan, terutama BTS 4G. Walaupun harus menggelontorkan Capex yang sangat besar. Tengok saja, Telkomsel menganggarkan sekitar 15 triliiun per tahun. Begitu pun Indosat dan XL yang memiliki rata-rata Capex sebesar Rp 8 – 10 triliun per tahun.

Dengan potensi Indonesia yang luar biasa, disertai kepercayaan dari para pemain industri lokal, pemerintah dalam hal ini Kementeriam Kominfo, harus bertindak cepat untuk merilis spektrum radio yang sesuai dengan kebutuhan 5G. Sehingga operator dapat leluasa mengembangkan beragam layanan 5G yang bisa menghasilkan pendapatan baru.

Kehadiran 5G yang sudah diluncurkan oleh Telkomsel dan Indosat Ooredoo, diyakini dapat mendukung tumbuhnya industri lokal sekaligus mendorong Indonesia sebagai kekuatan ekonomi digital, sejalan dengan revolusi 4.0 yang telah banyak digaungkan.

Implementasi 5G yang sesuai dengan kebutuhan operator dan industri, dapat membuat daya saing Indonesia meningkat, sekaligus tidak tececer dalam persaingan dengan negara-negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Inilah saatnya bagi Indonesia untuk merebut peluang zaman Age of Invention yang baru melalui teknologi 5G.

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *