Berita Nasional

Kisah Nur Rohmajanti 18 Tahun Jadi Guru di SLB

Indodax


Semangat Nur Rohmajanti untuk mengabdi dalam dunia pendidikan patut diapresiasi. Sudah 18 tahun dia menjadi guru bagi anak-anak sekolah luar biasa (SLB), tak pernah menyesali.

ANANIAS AYUNDA P., Tulungagung

Senyum semringah Nur Rohmajanti menyambut kedatangan Jawa Pos Radar Tulungagung di ruang guru SLB B Negeri Tulungagung. Nur merupakan salah seorang guru di sekolah yang beralamat di Jalan Diponegoro V/2, Tulungagung, itu. “Mari masuk, duduk dulu silakan,” sambutnya antusias.

Menjadi guru sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya. Terlebih menjadi guru SLB. Menurut Nur, pengalaman mengajar anak-anak sungguh luar biasa. Saat itu dia bercita-cita selulus kuliah dapat segera bekerja. Sehingga bisa meringan­kan beban orang tua. “Sama sekali gak berpikir mau jadi guru sebetulnya, terpenting bisa bekerja,” ujarnya.

Nur menjadi guru bermula ketika lulus kuliah pada 1991. Dia mencoba mendirikan sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Desa Turus, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Pada 2000, bersama seorang teman, dia mendatangi rumah-rumah warga untuk menemukan anak-anak berkebutuhan khusus. Meski memiliki kekurangan, tutur dia, setiap anak punya hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. “Saat itu saya datangi rumah warga yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus agar mau sekolah,” jelasnya.

Mulanya Nur hanya memiliki 17 siswa dengan berbagai macam ketunaan. Itu menjadi tantangan baru baginya. Berkat keuletan dan kesabarannya dalam membimbing para siswa, lambat laun sekolah rintisannya berkembang.

Hingga akhirnya, pada 2005, perempuan berhijab tersebut diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan mengajar di SLB B Negeri Tulungagung hingga sekarang. Di tempat baru itu dia dapat lebih fokus membim­bing siswa. “Karena di sini adalah SLB B, jadi khusus untuk anak-anak tunarungu. Pengajaran pun lebih intensif dan spesifik,” jelasnya.

Perempuan 48 tahun itu menambahkan, salah satu pelajaran berharga yang dapat dipetik selama mengabdikan diri menjadi guru adalah selalu bersyukur. Terutama bersyukur atas apa yang dimiliki. “Ketika melihat perkembangan murid-murid saya, dari yang awal masuk tidak bisa apa-apa, kemudian hingga berprestasi. Itu kebahagiaan yang tidak bisa dibeli,” ungkapnya.

Mengajar anak-anak tunarungu memiliki tantangan tersendiri. Salah satu tantangannya adalah bagaimana dapat membuat vokal atau mengeluarkan suara. Membuat vokal yang dimaksud adalah mengeluarkan suara yang tidak asal bunyi. Tapi bagaimana dapat membuat mereka bisa berbicara yang memiliki arti dan maksud.

“Sebab, pendengaran anak tunarungu tidak maksimal. Karena itu, untuk mengeluarkan suara pun kesulitan. Tugas kami yang pertama adalah membantu mereka agar tertata secara vokal bahasa. Tidak sekadar teriak atau bunyi,” paparnya.

Nur pernah mendampingi siswa SMPLB dalam lomba kreativitas siswa nasional (LKSN) untuk lomba membatik dan berhasil mendapat posisi lima terbaik.

Bersamaan dengan Hari Guru Nasional (HGN) yang jatuh pada hari ini, Nur berharap dapat terus mengabdi bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Dia berpesan kepada para orang tua, kekurangan dan kelebihan seorang anak merupakan anugerah. Karena itu, setiap anak layak mendapat pendidikan yang baik.

(*/din/c9/diq)


Kategori : Berita Nasional

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *