Berita Nasional

Jauh dari Rasa Keadilan

Indodax


Wikimedan – Putusan Mahkamah Agung (MA) atas kasasi yang menyeret nama Baiq Nuril merupakan ironi. Mengusik rasa keadilan hingga menarik perhatian banyak orang,

Dengan latar belakang pekerja honorer yang sudah dirumahkan, perempuan asal Mataram, NTB, itu mendapat vonis yang sangat menyesakkan. Hukuman enam bulan penjara dengan denda Rp 500 juta. Sangat jelas, putusan itu terlampau berat bagi Nuril. Yang untuk menghidupkan dapur rumah saja harus berjibaku ekstrakeras.

Tidak memiliki dasar kepastian, tidak memperhatikan rasa keadilan, serta tidak mencerminkan asas kemanfaatan menjadi catatan saya untuk putusan tersebut. Disebut tidak memiliki dasar kepastian karena putusan itu tidak memperhatikan unsur dan perbuatan Nuril. Bahwa Nuril adalah korban yang dengan inisiatifnya merekam. Namun, dia tidak menyebarkan.

Jauh dari Rasa Keadilan
Baiq Nuril (tengah) terus mencari keadilan atas putusan majelis hakim. Dia korban pelecehan malam dipenjara. (Didit/Lombok Post/Jawa Pos Group)

Apabila melihat konstruksi pasal 27 (1) UU ITE yang dijeratkan terhadap Nuril, seharusnya perbuatan itu tidak bisa dipakai untuk menyatakan Nuril bersalah. Dia hanya mendokumentasikan sebagai upaya bela diri atas perbuatan tidak menyenangkan yang dia alami. Sayang, bukannya dinyatakan tidak bersalah, Nuril malah kena hukuman.

Itu yang saya maksud putusan tersebut bertentangan dengan dasar atau nilai kepastian. Karena tidak memperhatikan unsur-unsur pada pasal 27 (1) UU ITE. Kemudian, putusan itu tidak memperhatikan rasa keadilan. Nuril yang sudah jelas adalah korban malah dihukum.

Buruknya, bukan hanya hukuman penjara, Nuril juga dijatuhi denda. Uang Rp 500 juta tentu saja bukan angka kecil bagi Nuril. Sebab, untuk makan saja dia dan keluarganya harus bersusah payah. Kenapa kemudian dihukum dengan denda sebesar itu? Itu yang saya maksud tidak mencerminkan rasa keadilan.

Hukuman tersebut juga tidak mencerminkan asas kemanfaatan. Bagaimana bisa, kita menyaksikan seseorang yang menjadi korban justru dipidana, sedangkan pelaku malah mendapat promosi. Di mana manfaat putusan itu? Yang nyata-nyata bersalah mendapat promosi, sedangkan yang tidak bersalah dihukum.

Putusan tersebut jelas merupakan suatu kekeliruan dan kekhilafan nyata hakim kasasi. Menjadi potret putusan yang jauh dari kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Terdapat kekeliruan nyata dalam proses pengambilan putusan itu. Apalagi, jika ditarik mundur, pengadilan tingkat satu justru membebaskan Nuril dari segala jeratan. Bebas tanpa satu syarat pun.

Lantas mengapa MA malah menghukum Nuril? Apa pun itu, harus ada upaya untuk meluruskan putusan terhadap Nuril. Kuasa hukum Nuril harus bergerak cepat. Mengumpulkan bukti baru, mengumpulkan kekeliruan dan kesalahan yang tampak nyata, dan meminta pihak jaksa tidak segera mengeksekusi Nuril ke dalam penjara.

Dengan segala upaya mereka harus mengajukan peninjauan kembali (PK). Putusan terhadap Nuril sudah menjadi perhatian banyak pihak. Seharusnya MA juga cepat memproses apabila muncul pengajuan PK atas putusan tersebut.

Dari sisi lain, Komisi Yudisial (KY) harus mendalami putusan terhadap Nuril. Mereka wajib mencari tahu karena putusan itu sudah memicu kontroversi. Apakah kemudian ada kesalahan hakim kasasi dalam menerapkan hukum, ada kekeliruan hakim kasasi dalam menjatuhkan vonis, atau mungkin ada yang bertentangan dengan harkat dan martabat hakim.

Lebih jauh, Presiden Joko Widodo juga perlu turun tangan. Bukan untuk atau dengan maksud mengintervensi proses hukum, tapi guna memberikan seruan moral kepada lembaga peradilan. Agar mereka tidak melahirkan vonis yang jauh dari rasa keadilan. Jangan sampai semua dikriminalisasi, semua dipidanakan. 

Pakar Hukum Pidana, Kaprodi Magister Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia

(*/Disarikan wartawan Jawa Pos Sahrul Yunizar/c9/oni)


Kategori : Berita Nasional

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *