Gilo-gilo, Angkringan dan HIK ala Kota Semarang
[ad_1]
Wikimedan – Menyisiri jalanan sore Kota Semarang, ada sejuta hal yang mungkin tak dapat dijumpai di daerah lain. Salah satunya adalah Gilo-gilo, jajanan rakyat mirip angkringan di Jogjakarta maupun HIK (Hidangan Istimewa Kampung) ala Kota Solo.
Gilo-gilo adalah kuliner khas Kota Semarang yang identik dengan gerobak dimana di atasnya dihidangkan berbagai macam santapan penggoyang lidah. Menjadi berbeda atau tak dapat dijumpai di tempat lain karena jenis makanan yang disajikan penjualnya.
Gunung Mahesa, seorang budayawan asli Kota Semarang menerangkan, gilo-gilo sendiri dapat diartikan sebagai kuliner yang menyajikan segalanya atau ‘apa saja ada’. “Merupakan serapan dari Bahasa Jawa iki lho ono, iki lho ono (ini ada, itu juga ada). Dan kemudian karena pengucapan, seiring waktu jadi gilo-gilo,” ujarnya saat dijumpai di kawasan Taman Budaya Raden Saleh, Semarang, Minggu (14/10).

Gilo-gilo adalah kuliner khas Kota Semarang yang identik dengan gerobak dimana di atasnya dihidangkan berbagai macam santapan penggoyang lidah. (Tunggul Kumoro/Wikimedan)
Sesuai penuturannya, Gilo-gilo pertama kali terlihat di Kota Semarang dan sekitarnya tahun 1930-an silam. Penjualnya, kala itu ternyata adalah orang-orang yang berasal dari wilayah Klaten, Jawa Tengah.
“Dulu itu dipikul. Nah, karena dipikul itu juga ada versi lain yang mengatakan gilo-gilo itu dari cara penjualnya waktu memikul dagangannya. Geleng-geleng, atau bahasa jawanya gela-gelo. Yang jelas, sekitar tahun 70-an sudah mulai beralih ke gerobak dorong karena jalanan kota sudah mulai banyak diaspal saat itu,” ujar pria berambut gondrong dan berkacamata itu.
Bukan hanya media jualannya saja. Bahkan kata Gunung, hidangan yang disajikan para penjual gilo-gilo pun sudah bertansformasi seiring roda waktu berputar. Namun, intinya tetap sama, yakni didominasi kudapan macam gorengan, aneka sate, dan buah-buahan. Serta tidak jual minuman atau wedang layaknya angkringan maupun HIK.
“Kalau dahulu, sebenarnya apa-apa dijual. Nasi juga ada. Isinya sego iwak campur sambal, dibungkus daun jati. Iwak di sini artinya lauk ya, bisa irisan ikan, tempe dan sebagainya. Sekarang juga ada, tapi rata-rata pindang dan nggak semua penjual sediakan nasi,” imbuhnya.
Kudapan gurih, sejak zaman awal gilo-gilo mendarat di Kota Semarang, macamnya sebagian besar sama. Gorengan renyah tempe, tahu dan bakwan, masih bisa ditemui. Meski begitu, untuk jenis buah sudah banyak mengalami perubahan.
Ibarat kata mengikuti perkembangan zaman, buah-buahan yang dijual pada era penjajahan awal gilo-gilo muncul adalah yang kesannya murah dan sangat merakyat. Layaknya pepaya potong, salak, kesemek, dan bengkoang.
“Nah kalau sekarang kan nanas, melon, semangka. Dipotong-potong. Banyak buah berair segar-segar lainnya. Tapi sesungguhnya bukan cuma buah, beberapa ada yang tak dijual lagi karena suatu sebab,” katanya.
Gunung menyebut, saat ini sangat jarang atau bahkan hampir tidak ada pedagang gilo-gilo yang menjajakan sate babi dan saren atau dideh. Budaya Islam di Kota Semarang yang mulai mengental kian tahunnya menjadi faktor utamanya.
Dikatakan Gunung, para penjual gilo-gilo yang mulai mengaspal sore hingga malam hari itu, tak sedikit yang menjajakan dagangannya di pemukiman atau perkampungan warga, dimana mayoritas penghuninya adalah pemeluk Agama Islam.
“Mengkonsumsi darah olahan atau daging babi itu kan haram bagi orang Muslim. Mau tidak mau, pedagang pada akhirnya juga harus menyesuaikan. Tidak dijual lagi dan diganti variasi sate kerang, keong, telur puyuh, banyak lagi,” cetusnya.
Lebih jauh, Gunung mengatakan, selain di kawasan pemukiman, kuliner gilo-gilo juga bisa ditemukan di pusat-pusat keramaian lainnya. Para penjualnya, biasanya mendorong gerobak masing-masing ke lokasi seperti wilayah perkantoran, taman kota, pasar, dan lain sebagainya.
(gul/JPC)
[ad_2]