Serba-serbi Operasi Epilepsi, dari Tujuan Hingga Risikonya
[ad_1]
Epilepsi, atau lebih dikenal dengan sebutan ayan, adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh gangguan sistem saraf pusat yang memicu kejang kambuhan bahkan sampai hilang kesadaran. Sebagai langkah awal, dokter biasanya akan memberikan terapi obat epilepsi untuk mengendalikan kejang. Namun, jika obatnya sudah tak lagi mempan, maka pengobatan epilepsi akan diarahkan pada prosedur pembedahan alias operasi.
Sebelum Anda memutuskan untuk menjalani pengobatan epilepsi lewat operasi, baiknya pahami dulu seluk beluk bedah epilepsi lewat artikel berikut ini.
Apa saja tujuan pengobatan epilepsi dengan pembedahan?
Terapi obat epilepsi sebetulnya cukup efektif mengendalikan kejang pada penderita epilepsi. Sayangnya, banyak kasus kejang epilepsi yang tidak mempan ditangani dengan obat epilepsi dari dokter. Bahkan, sekitar 30 persen pasien tidak kuat dengan efek samping obat yang ditimbulkan, seperti sakit kepala, gemetar yang tidak terkendali (tremor), ruam, gelisah, dan sebagainya.
Sebagai solusinya, pasien akan dianjurkan untuk menjalani pengobatan epilepsi lewat jalur operasi, atau disebut juga dengan bedah epilepsi. Ada tiga tujuan utama operasi epilepsi, di antaranya:
- Mengangkat area otak yang memicu kejang.
- Memblokir jalur saraf otak yang menyebabkan kejang.
- Memasukkan alat tertentu ke otak untuk mengurangi dampak epilepsi terhadap kesehatan pasien, yaitu kerusakan otak, kerusakan tulang, hingga kematian mendadak.
Siapa saja yang boleh menjalani operasi epilepsi?
Pada dasarnya, pengobatan epilepsi dengan operasi boleh dilakukan pada pasien epilepsi dari segala usia. Namun, syarat utamanya adalah:
- Pasien mengalami kejang epilepsi yang tidak dapat dikendalikan oleh terapi obat.
- Pasien mengalami tumor otak, kelainan pembuluh darah, atau stroke yang memicu kejang.
Perlu dicatat bahwa pengobatan epilepsi lewat jalur operasi hanya bisa dilakukan jika area otak penyebab kejang tidak memegang fungsi vital pada tubuh, seperti pusat gerak tubuh, bahasa, atau sentuhan. Jika area otak ini terkena dampak operasi, maka pasien bisa saja menjadi sulit bergerak dan sulit berbicara.
Seperti apa prosedur bedah epilepsi itu?
Tidak semua pasien akan menjalani prosedur operasi epilepsi yang sama. Hal ini tergantung dari seberapa parah kejang yang Anda alami dan letak penyebab kejang itu sendiri.
Dikutip dari Mayo Clinic, ada tiga jenis operasi epilepsi yang paling sering dilakukan, yaitu:
1. Resective surgery
Jenis operasi ini paling sering dilakukan untuk mengendalikan kejang epilepsi. Resective surgery dilakukan dengan mengangkat sedikit area otak, biasanya sebesar bola golf, yang memicu kejang.
2. Corpus callosotomy
Operasi corpus callosotomy lebih sering dilakukan pada anak-anak yang mengalami kejang parah. Caranya adalah dengan dengan memotong jaringan saraf yang menghubungkan belahan otak kanan dan kiri yang menyebabkan kejang. Hal ini dapat membantu mengurangi keparahan kejang pada anak-anak.
3. Hemispherectomy
Mirip seperti cospus callosotomy, prosedur hemispherectomy juga lebih sering dilakukan pada anak-anak yang mengalami kejang akibat kerusakan pada salah satu belahan otak, entah itu sisi kanan atau kiri. Operasi epilepsi ini dilakukan dengan mengangkat lapisan luar pada separuh bagian otak.
Kabar baiknya, sebagian besar operasi epilepsi memberikan hasil yang memuaskan. Kebanyakan pasien tak lagi mengalami kejang epilepsi setelah operasi. Kalaupun masih mengalami kejang, durasinya akan jauh berkurang dan terbilang jarang.
Meski begitu, dokter akan tetap memberikan obat epilepsi selama satu tahun ke depan untuk membantu mengendalikan kejang epilepsi. Namun, jika Anda justru mengalami kejang epilepsi yang sulit dikendalikan setelah minum obat, sebaiknya kurangi dosisnya atau bahkan berhenti minum obat epilepsi.
Risiko bedah epilepsi yang harus diwaspadai

Sama seperti jenis operasi lainnya, pengobatan epilepsi dengan pembedahan juga memiliki risiko dan efek samping yang harus diperhatikan. Hal ini dapat berbeda-beda untuk setiap orang karena tergantung dari jenis operasi epilepsi dan seberapa banyak area otak yang diangkat.
Beberapa risiko dan efek samping operasi epilepsi yang mungkin terjadi meliputi:
1. Gangguan ingatan
Area lobus temporal otak bertanggung jawab untuk memproses ingatan sekaligus menggabungkannya dengan sensasi rasa, suara, penglihatan, sentuhan, dan emosi. Operasi epilepsi yang dilakukan pada area otak ini dapat membuat pasien sulit mengingat, berbicara, atau memahami informasi yang diberikan.
2. Perubahan perilaku
Area lobus frontal adalah bagian otak yang terletak di bekakang dahi. Fungsinya untuk mengendalikan pikiran, penalaran, dan perilaku. Jika operasi epilepsi dilakukan pada area otak ini, pasien cenderung akan hilang kendali, perubahan suasana hati yang drastis, hingga depresi.
3. Penglihatan ganda
Penglihatan ganda dapat terjadi jika operasi epilepsi dilakukan pada lobus temporal otak. Anda mungkin juga akan mengalami kesulitan untuk melihat benda pada jarak jauh akibat efek samping dari operasi epilepsi.
Untuk mempercepat pemulihan dari efek samping tersebut, pasien dianjurkan untuk opname 3-4 hari setelah operasi di bawah pengawasan dokter. Anda mungkin akan mengalami nyeri dan pembengkakan di bagian tubuh tertentu selama beberapa minggu setelahnya. Yang penting, kontrol yang rutin untuk memantau kondisi kesehatan Anda pascaoperasi.
Baca Juga:
[ad_2]