Ukhuwah Suporteriyah
KIAI Ahmad Shiddiq telah mewariskan tiga pilar utama persaudaraan. Kesatu, ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan sesama orang Islam. Kedua, ukhuwah wathoniyah atau persaudaraan sesama anak bangsa. Ketiga, ukhuwah basyariyah atau persaudaraan sesama umat manusia. Dengan niat tetap menjaga ketakziman pada mendiang Rais Am Nahdlatul Ulama dari Jember itu, saya menginisiasi satu lagi model ukhuwah.Pada Jumat malam lalu, 8 November 2019, saya diminta oleh kawan karibku, Langgeng Jatmiko, untuk memberikan ceramah dalam Pengajian Akbar dan Potong Tumpeng pada Perayaan 96 Tahun ”Persis” (Perserikatan Sepakraga Indonesia Surakarta). Dilahirkan oleh Raden Ngabehi Reksodiprojo dengan nama awal Vorstenlandsche Voetbal Bond pada 30 Maret 1923, resmi diakui pada 8 November 1923, baru 12 Mei 1933 ia bernama Persis.Langgeng, yang adalah manajer Persis saat ini, berharap ulang tahun jelang satu abad pertama ini menjadi momentum bagi Persis untuk meraih mimpi menuju prestasi. ”Tapi, saya tidak terlalu paham soal sepak bola,” sergah saya, menolak halus permintaannya untuk menyampaikan ceramah. ”Tapi, tahu tingkah polah suporter, kan? Cukuplah itu,” ujar Langgeng. Akhirnya, jadilah saya hadir di Pura Pamedan Mangkunegaran malam itu.Di hadapan suporter Persis, yang menamai dirinya Pasoepati, singkatan dari Pasukan Suporter Paling Sejati, saya mengingatkan bahwa Pasopati ialah panah mematikan dari Batara Guru yang pernah dilepaskan Raden Arjuna untuk membunuh Adipati Karna dan Prabu Niwakatakawaca. Pemilihan Laskar Samber Nyawa sebagai nama lain Persis pun bukan main-main. Sebab, Raden Mas Said adalah panglima perang yang mematikan.Apakah keberadaan Persis dan Pasoepati akan merepresentasikan sosok dan senjata sakti mandraguna itu dalam konotasi yang negatif? Mau bagaimanapun, Persis adalah kakak tertua seluruh kesebelasan sepak bola di tanah air, walaupun Pasoepati baru lahir berpuluh-puluh tahun kemudian. Bahkan, Persis lebih tua dari PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) dan KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia).Pembentukan Vorstenlandsche Voetbal Bond pada 1923 juga adalah suatu bentuk perlawanan moral rakyat bumiputra terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Semangatnya tidak hanya untuk berolahraga, tapi juga untuk mempersatukan anak-anak bangsa dari beragam suku. Lima tahun kemudian, Kongres Pemuda II di Jakarta melahirkan Sumpah Pemuda. Pergerakan perjuangan kemerdekaan pun semakin berapi-api.Perserikatan-perserikatan sepak bola lahir susul-menyusul, diikuti kelahiran kelompok-kelompok suporter. Sayangnya, kelahiran demi kelahiran itu, yang melahirkan pula turnamen-turnamen, memunculkan pula perilaku-perilaku yang menjauh dari spirit patriotisme. Kecurangan di rumput hijau maupun di bawah meja terus bermunculan. Kondisi ini diperunyam oleh karut-marut manajemen dan gesekan antarsuporter.Mengurai silang sengkarut dunia bal-balan di Indonesia sungguh tidak mudah. Tidak cukup hanya kepala dingin. Hati pun harus sejuk. Berdiri di hadapan para suporter di suasana perayaan ulang tahun kesebelasan sepak bola kesayangannya, saya tidak hanya berpesan agar mereka membela Persis, tetapi juga menjaga nama baiknya. Caranya? Nah, ini yang saya namai ukhuwah suporteriyah, persaudaraan sesama suporter sepak bola.Apa pun kesebelasan yang dibela, sadari bahwa kita adalah sesama suporter. Para pemain sudah berjuang sebaik-baiknya. Menang dan kalah jangan dijadikan sumbu untuk dipantik dengan api oleh suporter. Baik di dalam maupun di luar stadion, baik sebelum, ketika, atau sesudah laga. Tentu, ini berlaku bukan hanya untuk Pasoepati. Tapi, juga untuk suporter mana pun lainnya. Kita sesama suporter. Sesama pencinta bola.Bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, saya sampaikan, ada bekal untuk ukhuwah suporteriyah. ”Barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir,” petuah Sang Nabi,” ada sedikitnya dua sikap yang harus dijadikan perilaku. Falyukrim dhaifah, muliakanlah tamu, dan falyashil rahimah, sambunglah tali silaturahmi. Jika tanding di kandang sendiri, muliakanlah tamu. Jika laga di kandang lawan, sambunglah silaturahmi. (*)Candra Malik, budayawan