Tumbangnya BOLT, Perusahaan Perlu Berhati-Hati Memilih Brand

Jakarta, Wikimedan – Per 28 Desember lalu, Bolt resmi menghentikan layanan sebagai operator 4G di Indonesia. Penghentian layanan itu, merupakan buntut dari ketidakmampuan perusahaan memenuhi kewajibannya membayar BHP (Biaya Hak Penggunaan) frekuensi kepada negara.
Seperti diketahui, Bolt tak kunjung membayar BHP selama dua
tahun (2016-2017). Total tunggakan operator 4G pertama di Indonesia itu
mencapai lebih dari Rp 708 miliar.
Agar bisa tetap beroperasi, perusahaan berusaha menunda
kewajiban pembayaran dengan mengajukan proposal kepada Kemenkominfo pada
November 2018.
Namun, selang sebulan dari waktu pengajuan, anak perusahaan Lippo
Group itu, tak kunjung melunasi. Hingga akhirnya, pemerintah bersikap tegas
dengan menghentikan layanan Bolt.
Keputusan tersebut dengan sendirinya menghentikan polemik
yang berkembang di masyarakat. Bolt – salah satu operator BWA (Broadband Wireless Access) tersisa, akhirnya
terpaksa mengembalikan spektrum 2,3 Ghz kepada pemerintah.
Tumbangnya Bolt sejatinya menyiratkan persoalan
besar yang kini menggayuti operator telekomunikasi. Fakta bahwa “ketidakmampuan”
Bolt melunasi tunggakan BHP frekwensi, tak lepas dari karut marutnya industri
selular.
Surplus pemain, mencapai lebih dari 10 operator, membuat
industri selular tak lagi seksi. Jika pada tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan
industri sempat mencapai double digit, saat ini jangankan satu digit, yang
terjadi sudah mengalami negative growth.
Sepanjang kuartal ketiga 2018, kinerja operator
sungguh-sungguh dalam tekanan karena anjloknya pendapatan. Kecuali Telkom dan
Telkomsel, semua operator menelan kerugian.
Collapse-nya Bolt, juga
tak lepas dari keputusan yang diambil pemerintah. Teknologi netral yang diterapkan pada 2014, membuat
operator GSM dapat menggelar layanan 4G di seluruh Indonesia. Hal ini merupakan
pukulan telak bagi operator BWA yang dibatasi zona.
Secara komersial, layanan Bolt tak mampu bersaing dengan
operator yang punya lisensi nasional. Hal itu masih ditambah lagi dengan
kelangkaan device dan distribusi yang minim. Ujungnya berdampak langsung pada
pendapatan perusahaan yang tak sebanding dengan investasi yang telah dikeluarkan.
Terlepas dari persoalan bisnis, teknologi dan kebijakan
pemerintah, gulung tikarnya Bolt menjadi bahan diskusi menarik dari persektif
marketing. Siapa sangka, pemilihan merek BOLT justru menjadi blunder bagi
Internux, selaku pemilik brand.
Persepsi Merek
Tak dapat dipungkiri, merek BOLT mengacu pada Usain Bolt, sang
pemegang rekor lari jarak pendek 100 dan 200 meter. Dipilihnya merek ini tentu
perusahaan ingin membangun persepsi sebagai operator yang menawarkan banyak
kelebihan dibandingkan pesaing. Terutama dari sisi kecepatan dan kehandalan
layanan mobile internet.
Meski merupakan follower, BOLT yang beroperasi pertama kali pada
November 2013, diuntungkan dengan predikat sebagai operator pertama 4G di Indonesia.
Dibandingkan 3G, masyarakat memiliki opsi lebih baik jika
menggunakan layanan data dari BOLT. Ini adalah momentum yang tepat karena
masyarakat mulai beralih dari layanan basic
(voice dan SMS) ke layanan data.
Itu sebabnya diawal kemunculannya, BOLT menyita perhatian yang
cukup besar bagi konsumen di Jabotabek. Mereka terkesan dengan kecepatan yang
mencapai 100 Mbps. Jauh melebihi kecepatan 3G.
Alhasil, penjualan modem BOLT! Super 4G LTE laris manis.
Mendorong jumlah pelanggan BOLT cepat meningkat. Berlipat-lipat dalam waktu
relatif singkat.
Sampai disini, persepsi terhadap BOLT, yakni operator yang
menawarkan kecapatan data lewat teknologi 4G LTE, mulai menancap dibenak konsumen.
Sayangnya, memasuki 2014, perusahaan mulai kedodoran.
Meningkatnya jumlah pelanggan tak dibarengi dengan pembangunan BTS yang memadai.
Sehingga BOLT pun mulai banjir komplen.
Keluhan konsumen bervariasi. Namun terbanyak menyangkut
kecepatan yang tak lagi sehandal sebelumnya. Tingginya trafik membuat jaringan menjadi
penuh, sehingga akses data menjadi terhambat.
Saking kesalnya, sebagian konsumen memelesetkan BOLT sebagai BOLOT,
merujuk pada komedian Betawi yang terbiasa berperan sebagai orang yang rada
tuli dan lemot.
Alhasil, persepsi yang muncul di publik menjadi kebalikan. Dari
sebelumnya memiliki kecepatan dan kehandalan, menjadi layanan yang super lambat.
Pelesetan BOLT menjadi BOLOT, tentu sangat merugikan perusahaan.
Karena hal itu menyangkut citra merek di mata masyarakat. Namun, perusahaan tak
bisa mengelak, karena itu adalah kreafitas konsumen yang dipicu oleh pengalaman.
Sadar bahwa kepercayaan konsumen bisa tergerus, Internux selaku
pemilik brand, berusaha mengikis persepsi negatif itu. Salah satunya dengan
menggencarkan kembali pembangunan BTS demi meningkatkan kualitas layanan. Meski
demikian, persepsi BOLT identik dengan BOLOT tak serta merta menjadi hilang.
Tentu saja persepsi yang miss leading, tak terkait langsung
dengan penutupan BOLT oleh pemerintah. Itu adalah kasus berbeda. Murni karena
tidak adanya kepatuhan perusahaan dengan regulasi yang sudah ditetapkan.
Sesungguhnya tak ada yang salah saat Internux memilih nama BOLT.
Namun ketidakmampuan perusahaan mempertahankan QoS (quality of service), menjadi sumber masalah.
Hal itu berdampak pada persepsi sebagian pengguna. Alih-alih
berlari kencang seperti Usain Bolt, layanan BOLT malah dipelesetkan menjadi BOLOT.
Siapa sangka, lima tahun kemudian, BOLT terpaksa mengikuti jejak
operator lain yang sudah tumbang duluan. Mereka adalah Esia (Bakrie Telecom),
Fren (Mobile 8), dan Axis (Saudi Telecom).
Kategori : Berita Teknologi