Sudah Seminggu, Makmur Mencari Buah Hatinya di Bawah Tumpukan Rotan
[ad_1]
Wikimedan – Suara lirih terdengar dari balik sambungan telepon. “Pak, saya mau pulang ini, tapi saya singgah dulu di rumahnya teman, ada urusan kampus yang mau saya selesaikan sebentar sekali, baru saya ketemu sama bapak. Saya rindu pak,“.
Begitu, kata-kata terakhir Nur Rahmi, 20, korban yang meninggal akibat gempa berkekuatan 7,4 SR disusul hantaman tsunami yang meratakan kawasan perindustrian di pesisir Jalan Trans Sulawesi, Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Jumat (28/9) lalu.
Kata-kata itu ternyata adalah saat terakhir Makmur, 48, mendengarkan lirihnya suara sang anak sulung dari kejauhan. 10 menit sebelum bencana terjadi, sore jelang salat magrib, mahasiswi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) kota Palu itu, mengabari sang ayah bahwa ia baru saja beranjak meninggalkan kampus untuk pulang ke rumahnya di kawasan pesisir Mamboro.

Makmur, saat memperlihatkan foto anak perempuannya yang hilang usai tsunami menghantam Mamboro, Palu Utara, Kota Palu. (Sahrul Ramadhan/Wikimedan)
Karena saat itu adalah waktu yang tepat untuk berakhir pekan bersama keluarga, berhubung perkuliahan telah berakhir, dari kampusnya di Jalan Thalua Konchi, Mamboro, ia memutuskan lebih awal untuk pulang ke rumahnya.
“Dia menelepon begitu, kalau tiba-tiba kenapa rindu katanya sama saya. Dia mau pulang, dia bilang ditelepon kalau dia minta ditunggu di rumah. Karena itu hari kebetulan kan Jumat, biasanya memang agak lama pulang begitu karena besoknya sampai Minggu dia libur,” ujar sendu Makmur sembari membongkar satu persatu tumpukan gudang penyimpanan rotan terbesar di Sulteng, di kawasan pesisir Mamboro.
Sepulangnya dari melaut siang jelang sore saat itu, Makmur masih terbayang-bayang karena tiba-tiba sang anak mengucapkan kata ‘rindu’ untuknya. Padahal keduanya hampir tiap saat bertemu di rumah. Pulang kuliah di Senin hingga Jumat, di rumah semi permanen, mereka bercengkrama dengan anggota keluarga lainnya yang juga menjadi korban namun terlebih dulu ditemukan sesaat usai bencana terjadi, malam hari itu.
“Tinggal saya ini yang tinggal. Mungkin Tuhan kasih kesempatan saya untuk bisa hidup. Ujian mungkin ini, mamanya (isterinya) dua adeknya juga ikut waktu tsunami datang. Padahal tiap hari kita sama-sama semua, kita ketawa-ketawa, main-main di dalam rumah,” lanjutnya bercerita di tengah teriknya sengatan matahari di pesisir Palu.
Membora, merupakan salah satu kawasan pusat perindustrian di Kota Palu bagian Utara yang terdampak parah akibat tsunami. Letaknya yang begitu dekat dengan bibir pantai, membuat lokasi yang jaraknya sekitar 12 kilometer dari pusat Kota Palu rata diterjang ganasnya gelombang.
Nyaris tak ada yang terisisa. Rumah-rumah semi permanen warga, pergudangan barang-barang konsumsi berbagai merek, tinggal puing-puing dan kepingan. Pusat sekaligus gudang penyimpanan rotan adalah salah satu dari sejumlah gudang yang terbesar di kawasan itu.
Terhitung sehari sejak bencana terjadi, Makmur mulai melakukan pencarian sendiri. Usai salat subuh, pria bersuara lantang ini mulai mengangkut satu persatu timbunan material, khusus rotan yang panjangnya hingga lima meter yang tertumpuk bercampur sisa-sisa barang rumah tangga lain, di sana.
“Besar keyakinan saya, anak saya ini ada di bawah timbunan yang tertutup rotan-rotan ini. Karena ini gudang rotan paling besar baru paling panjang juga tempat di sini. Yakin sekali saya ini. Makanya saya angkat saja ini, siapa yang mau bantu karena orang lain juga cari keluargnya atau siapanya ini disini,” terangnya.
Basarnas sendiri baru mulai melakukan operasi pencarian dan evakuasi di kawasan itu sejak Rabu (3/10) lalu. Sudah ada 20 jenazah ditemukan di sana. Temuan itu di luar, jenazah-jenazah lain yang lebih dulu ditemukan warga sekitar yang selamat. Diperkirakan, masih ada ratusan jenazah lagi yang belum dievakuasi di sana.
Sayangnya, Jumat kemarin di tengah-tengah proses pencarian, Makmur mengaku sedikit mengalami kendala. Telinganya panas, otaknya dan cara berpiikirnya sempat tak karuan. Sebabnya, pemilik gudang sekaligus pengusaha rotan terbesar sekota Palu itu, datang dan tiba-tiba mengomel agar gudangnya yang porak-poranda diterjang bencana tidak disentuh-sentuh atau dibongkar oleh siapapun.
“Kurang ajar sekali memang ini yang punya. Sifatnya memang dikenal ndak bagus. Masa biar tim apa itu, yang Basarnas mau bongkar untuk cari-cari barangkali ada mayat di dalam di bawah-bawah rotan itu, tapi dia itu marah-marah. Dimarahi kita semua. Supaya jangan ada orang yang bongkar. Biar siapa. Nanti dia yang bongkar sendiri katanya. Sudah kayak bukan manusia itu orang itu. Untung tsunami tidak gulung juga sekalian dengan dia itu,” ungkapnya jengkel.
Kendati begitu, Makmur tetap berusaha untuk menemukan sendiri jenazah sang anak yang diperkirakan kuat berada di antara puing-puing, sisa bangunan yang diratakan gelombang di kawasan itu. Hari menjelang petang, sebelum perbincangan berakhir, Makmur sedikit melepas sisi emosinya. Air matanya sedikit diusap, ia meminta didoakan agar sang putri bisa ditemukan.
“Biar bagaimana kondisinya itu anak, itu anak saya kasian. Doakan supaya Tuhan kasih petunjuk dimana ini anak tertimbun. Ini saya tidak pernah capek ini, mau sampai berapa hari lagi saya cari, saya cari sampai saya dapat dia,” tutupnya berharap.
(rul/JPC)
[ad_2]