Revisi PP PSTE Janjikan Sanksi Bagi yang Melanggar

Jakarta,Wikimedan–Dalam revisi peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) akan ada pasal yang mengatur penempatan data, dan akan diterapkan sanksi bagi industri yang melanggar.
Hal tersebut diungkapkan Semuel A. Pangerapan (Semmy), Dirjen Aptika, Kementeriaan Komunikasi dan Informatika, hal itu tertulis dalam draft RPP.
Sanksi yang diberikan adalah pemutusan akses atau pemblokiran. Semmy mengatakan hal itu berbeda dengan PP PSTE sebelumnya yang tidak ada sanksi yang bisa menjerat penyelenggara layanan digital jika tak menaruh pusat datanya di Indonesia.
“PSTE yang sudah direvisi nantinya ada sanksi seperti pemblokiran,” ujar Semmy di Gedung Kemenkominfo, Jakarta (31/10/10).
Saat ini, menurut Semmy, draft RPP itu telah selesai proses harmonisasi sejak 22 Oktober dan sudah dikirimkan ke Kementerian Sekretariat Negara (SetNeg) pada tanggal 26 Oktober 2018. Selanjutnya, menunggu ditanda-tangani Presiden setelah dilakukan sinkronisasi atau pengecekan ulang oleh Setneg.
“Mudah-mudahan bulan depan sudah ditandatangani Presiden,” ungkap Semmy.
Sementara Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Infotmatika beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa revisi PP 82 mengacu kepada UU ITE. Selain itu Rudiantara mengaku bahwa revisi ini tidak ada kaitannya dengan Amazon Web Services (AWS) atau Alibaba Cloud. Ia mengaku mau merevisi PP ini sejak 2015.
Rudiantara juga melihat bahwa aturan ini merugikan perusahaan rintisan atau startup karena dinilai tidak akan berkembang apabila semua data center mereka wajib di Indonesia.
Dikatakan Rudiantara, mereka semua menggunakan cloud computing untuk menyimpan data. Rudiantara melihat di sini ada aturan tapi tidak implementable, sehingga tidak bisa diterapkan penuh. Akhirnya, dilakukan revisi dengan membaginya menjadi tiga kategori.
Tiga kategori yang dimaksud adalah strategis, penting (important), dan biasa. Strategis, menurut Rudiantara, antara lain data intelijen, pertahanan dan keamanan, serta data kependudukan. Menurut Rudiantara kategori itu yang pusat datanya wajib ada di Indonesia.
Sedangkan sektor perbankan pusat datanya boleh ada di Indonesia, boleh juga tidak. Rudiantara juga mengaku sedang membahasnya dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian, kategori biasa adalah yang pusat datanya boleh ada di luar Indonesia.
Kategori : Berita Teknologi