Berita Nasional

Ramai-Ramai Membangun Istana Koruptor

Indodax


[ad_1]






Wikimedan – KPU seolah dipaksa ”gigit jari” dalam upaya mencegah eks napi koruptor menjadi calon anggota legislatif. MA membatalkan Peraturan KPU Nomor 20 dan Nomor 26 Tahun 2018 untuk mencegah bekas napi kasus korupsi menjadi caleg.





Para caleg penggugat yang merasa hak asasinya terbelenggu oleh peraturan KPU itu pun boleh semringah dan merayakan kemenangan. Malaikat maut penjemput ajal karir politik mereka di parlemen berhasil dihalau putusan mahkamah hukum yang mau tak mau wajib ditaati seluruh rakyat itu, termasuk oleh KPU dan insan pegiat antikorupsi.






Dalam teori demokrasi, sterilisasi pemerintahan yang korup harus dimulai dari pengawasan proses rekrutmen. Orang-orang yang direkrut harus nircacat moral, berintegritas, dan memiliki kualifikasi negarawan. Inilah roh ijtihad KPU melarang keras bekas narapidana korupsi (napikor) mendaftar sebagai caleg 2019-2024.





Intensi KPU sungguh mulia adanya, yakni supaya Pemilu 2019 lebih berkualitas dan pemerintahan yang terbentuk merupakan penadbiran yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.





Dari hati yang terdalam harus diakui bahwa putusan MA layaknya genderang ironi pemberantasan korupsi yang menabrak akal sehat dan peradaban. Ketika garis demarkasi moral dalam politik nyaris musnah dan politisi medioker serta delinkuen etik terus merangsek masuk ke dalam sistem politik, tiba-tiba saja air bah pembebasan terhadap hasrat para calon wakil rakyat yang pernah tersangkut kasus korupsi untuk mencalonkan diri dalam Pemilu 2019 mengalir, membobol bendungan perlawanan rakyat terhadap korupsi.





Sangat disayangkan, proses seleksi calon wakil rakyat untuk Pemilu 2019 ini harus menyisakan gimick dan drama politik yang jauh dari sifat mencerdaskan dan mewaraskan kehidupan bangsa. Maksud agung KPU ingin memayungi marwah institusi parlemen dari pelbagai kepincangan etik dan moral karena penyakit korupsi itu dinegasi begitu saja persis di titik klimaks ketika seluruh rakyat dan para pendukung antikorupsi mati-matian kompak dan sehati menolak para caleg bekas koruptor.






Hal itu kian membuktikan bahwa perlawanan korupsi selama ini masih sebatas jargon. Institusi hukum masih suka bermain di level aman dan mendayu-dayu dalam mendefinisikan dan menghitung implikasi riil korupsi bagi kepentingan publik serta hak-hak demokrasi.






Menjadi tidak mengherankan jika sejumlah istana pengistimewaan terhadap koruptor (termasuk pembiaran sel-sel mewah koruptor) terus dibangun justru oleh sistem hukum yang terkesan banci terhadap kejahatan korupsi. Sanksi sosial secara ekstrem, perampasan total aset kekayaan, pencabutan hak politik, hingga hukuman mati bagi koruptor tak kunjung diterapkan dan hanya stop sebatas wacana serta komoditas politik.





Parpol juga masih saja berada dalam spirit imunitasnya (tidak mau dikoreksi publik), termasuk untuk mencuci dosanya dari sejumlah implikasi kecacatan sistem politik yang menghasilkan pelbagai kesemrawutan politik-kekuasaan selama ini.





Di tengah miringnya penilaian rakyat terhadap citra politik dan parpol dari berbagai rekaman survei, semestinya parpol hari-hari ini berlomba-lomba menginvestasikan nilai-nilai transformatif, termasuk mempraktikkan hukum besinya dalam melawan korupsi dan segala perilaku deviatif kader-kadernya. Salah satunya membersihkan tubuhnya dari pelbagai pertimbangan dan keputusan yang memproteksi peringai korup dalam diri kader-kadernya.





Parpol memiliki kedaulatan penuh mengatur dan mengawal jalannya sistem prohibisi dan sirkulasi kadernya dalam pemilu untuk menjamin bahwa setidaknya sistem produksi kader-kader di internalnya kelak tidak menghasilkan inflasi resistansi moral dari publik. Yang terjadi, parpol justru membela mati-matian kader bekas koruptornya, termasuk dengan enggan menarik caleg-caleg bermasalah itu dari meja hidangan politik rakyat.





Melawan KKN sejatinya bukan kerja setengah hati. Ia adalah kerja bertaruh nyawa untuk menghimpun seluruh energi dan semangat positif antikorupsi di semua level sosial-politik dari bangsa ini (Widojanto, 2005). Karena itulah, sebagai salah satu institusi peletak dasar keadilan, MA semestinya memiliki obligasi moral-spiritual untuk menyerap rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat akibat perbuatan patologis para elite dan pejabat korup. Sebagai mahkamah kebenaran dan keadilan, MA harus mampu membuncahkan amunisi penegakan moralitas publik bagi terwujudnya kemaslahatan seluruh insan republik tercinta ini.





Dalam pemberantasan rasuah, menurut Klitgaard (1988), ada tiga formula yang bisa diterapkan. Yakni, principal-agent or agency models, new public management perspectives, dan neo-institutional economics frameworks. Salah satu yang dititikberatkan dalam new public managament pers­pective adalah bagaimana lembaga-lembaga hukum melakukan pengawasan secara ketat dan integratif terhadap upaya pemberantasan korupsi, termasuk peran serta seluruh elemen masyarakat dalam melakukan partisipasi politiknya dalam mengontrol moralitas dan integritas perilaku elitenya (parpol, birokrasi) dalam mengemban tugas-tugas kenegaraannya.





Sayang, MA buru-buru merontokkan palu yustisial dalam jebakan legalisme yang nihil utilitas moral. Impotensi perlawanan terhadap korupsi yang dicerminkan putusan MA itu akhirnya bisa menstimulasi benih-benih korupsi untuk mereproduksi dirinya di dalam tubuh parlemen.





Apa mau dikata, dalam situasi serba mencekam oleh impitan horor hantu korupsi yang bergentayangan masif mengisap dan merampok darah dan uang rakyat, rakyat kembali harus berhadapan dengan menu calon-calon wakil rakyat korup di “meja makan” mereka. Kita berharap rakyat tidak menggunting kuku nalar kritisnya agar menghindar dari pilihan politik yang salah dan berpotensi destruktif.





Seluruh komponen masyarakat, termasuk kampus, LSM antikorupsi, dan media massa, harus melipatgandakan semangat advokasi moral kepada rakyat dalam aksi volunterisme tak terbatas untuk mengedukasi rakyat, calon pemilih, agar tidak memilih caleg-caleg bermasalah. 





*) Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang





(*)


[ad_2]

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *