Berita Nasional

PLTA Batangtoru, Dharma Hydro Klaim Tidak Ada Penolakan Dari Warga

Indodax


Wikimedan PT Dharma Hydro Nusantara mengklaim tidak ada penolakan dari masyarakat soal pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batangtoru di Tapanuli Selatan. Bahkan pihaknya juga menyebut sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum melakukan pembangunan.

Hal itu terkuak di persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kota Medan, Senin (17/12). Itu diungkapkan Rizal Kapita, salah satu manager di PT Dharma Hydro Nusantara yang memberikan keterangan sebagai saksi fakta tergugat. Sedangkan penggugat dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut menghadirkan pakar hukum tata negara Denny Indrayana.

Persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Jimmy Claus Pardede berlangsung cukup alot. Selama persidangan, soal sosialisasi kepada masyarakat banyak dipertanyakan.

Rizal mengatakan, Jika sosialisasi sudah dilakukan di tiga kecamatan, Marancar Sipirok dan Pemda. Dan dalam sosialisasi itu tidak ada masyarakat yang menolak.

“Respon negatif tidak ada. Hanya saja pertanyaan pada dampak yang timbul dari masyarakat. Termasuk dampak yang di hilir. Karena banyak masyarakat yang belum paham,” ujar Rizal.

Kuasa Hukum penggugat terus menanyainya soal sosialisasi itu secara detil. Dan beberapa kali Rizal tampak gagap menjawabnya.

Selama ini, kata Rizal, sosialisasi dilakukan oleh tim konsultan yang digunakan NSHE. Dirinya hanya ikut untuk melihat sosialisasi.

Sosialisasi dilakukan dalam bentuk pemaparan kepada masyarakat dan perwakilan pemerintah.

Selama ini pembangunan PLTA berkapasitas 510 Megawatt itu menuai polemik. Aktivis lingkungan menolak. Karena mereka sudah mengkaji dampak lingkungan yang akan terjadi.

Rizal juga mengklaim jika pihaknya juga sudah melakukan kajian mendalam soal dampak lingkungan dengan melibatkan, Environmental Resources Management (ERM) sebagai konsultan.

ERM sudah melakukan kajian keragaman hayati yang ada di hutan Batangtoru sebagai lokasi pembangunan PLTA. Dari hasil kajian mereka, menghasilkan rekomendasi agar pihak pengembang melakukan Biodiversity Action Plan.

Golfrid Siregar, Koordinator Kuasa Hukum WALHI menjelaskan, beradasarkan temuan mereka di lapangan ada masyarakat yang tidak mendapatkan sosialisasi. Sehingga mereka menyimpulkan keterangan dari Rizal berbanding terbalik dengan kenyataan.

“Kita sudah menghadirkan saksi fakta dari kecamatan Batangtoru. Mereka mengatakan tidak ada sosialisasi. Makanya tadi keterangan perusahaan mengatakan. Karena izin operasional mereka kan di tiga kecamatan, Marancar, Sipirok dan Batangtoru,” ujarnya.

“Dari keterangan yang didapati WALHI, sosialisasi hanya soal ganti rugi,” imbuhnya.

Soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Golfrid juga menganggap keterangan yang disampaikan saksi fakta tidak berdasar. Karena pada persidangan sebelumnya, WALHI sudah menghadirkan saksi ahli Amdal.

“Dan itu juga berbanding terbalik. Ketua tim teknis menyatakan sudah dikaji. Saksi ahli Amdal yang kita hadirkan bilang belum. Kajian itu harus kajian mendalam. Jangan hanya kajian yang menurut ketua tim teknis. Berbanding terbalik, tim ahli dengan ketua tim teknis,” tandasnya.

Sementara itu, Denny Indrayana berpendapat jika pelibatan masyarakat menjadi unsur yang penting. Khususnya yang terdampak.

“Kalau menurut undang-undang lingkungan hidup pada saat izin dimohonkan dan setelah izin diterbitkan itu dua-duanya harus ada,” ungkapnya.

Pelibatan masyarakat dalam pembangunan PLTA dari sisi hukum juga sangat penting. Ada tiga hal penting yang harus menjadi pertimbangan dalam mengeluarkan izin.

“Secara hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang saya pelajari, suatu surat keputusan dalam hal ini keputusan Gubernur melalui Kepala Dinas, itu harus memenuhi tiga syarat untuk menjadi sah. Satu yang menerbitkan harus berwenang. Kedua harus sah prosedurnya, tahapan terbitnya izin itu. Ketiga substansinya, isinya juga harus sesuai,” tandasnya.

Untuk diketahui, PLTA Batangtoru ditolak karena dianggap mengancam keanekaragaman hayati. Yang paling penting adalah, pembangunan PLTA berada di habitat Orangutan Tapanuli sebagai spesies langka. Pembangunan disebut memisahkan antara blok barat dan timur.

(pra/JPC)


Kategori : Berita Nasional

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *