Penyeberangan Ujung-Kamal, Nasibmu Kini
Tanpa digratiskan pun, Jembatan Suramadu sudah menggerus habis kejayaan penyeberangan Ujung (Surabaya)-Kamal (Bangkalan). Penumpang yang masih bertahan sampai kini umumnya para pedagang pasar tradisional dari Kamal.
EKO HENDRI SAIFUL, Surabaya
—
TRUUUT! Truut! Suara lantang itu memecah keheningan kawasan Pelabuhan Ujung, Surabaya, kemarin (26/10). Secara pelan-pelan, kapal motor (KM) Tongkol melenggang meninggalkan pelabuhan.
Melihat kapal bergerak, pedagang asongan dan porter pelabuhan semburat. Beberapa penjaja makanan mencoba bertahan. Mereka baru keluar setelah diomeli penumpang dan awak kapal.
“Siang ini lumayan banyak penumpangnya. Alhamdulillah,” tutur I Made Rate, petugas PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry Cabang Surabaya.
Lelaki itu meninggalkan dermaga sambil membawa tiket yang sudah disobek. Dia lantas menghitungnya. Tercatat, ada 43 penumpang yang menggunakan jasa KM Tongkol. Sebanyak 119 kursi masih kosong. Made juga menghitung, ada dua mobil yang ikut menyeberang.
“Ini sudah lumayan banyak. Biasanya hanya sekitar 30 orang,” tambah Made.
Dia menambahkan, jumlah penumpang kapal memang tak pernah penuh. Bahkan, cenderung berkurang. Beroperasinya Jembatan Suramadu sejak 2009 yang menghubungkan Jawa dan Madura memang berdampak sangat besar terhadap penyeberangan Ujung (Surabaya)-Kamal (Bangkalan) itu. Apalagi jika sudah digratiskan.
Selama ini hanya warga di sekitar Pelabuhan Kamal, Madura, yang bertahan menggunakan jasa penyeberangan. Mereka banyak beraktivitas sebagai pedagang di pasar tradisional. Ada pula PNS di wilayah Surabaya. “Semuanya sudah seperti pelanggan,” kata Made.
Lelaki yang sudah 20 tahun bertugas menarik tiket di gerbang pemberangkatan itu mengungkapkan, Pelabuhan Ujung menyimpan banyak kenangan. Tugas pertamanya di situ. Selain itu, bapak dua anak tersebut menemukan banyak teman saat bertugas di pelabuhan.
Menurut Made, zaman dahulu, Ujung-Kamal merupakan jalur penyeberangan tersibuk di Pulau Jawa. Ada 16 kapal yang beroperasi penuh setiap hari. Melayari Selat Madura. Mereka bergantian mengisi tiga dermaga di pelabuhan.
Keramaian terlihat saat libur nasional. Misalnya, Hari Raya Idul Fitri. Kendaraan yang hendak masuk ke pelabuhan selalu antre berkilo-kilometer di Jalan Kalimas Baru. Aksi desak-desakan saat berebut tiket kapal. “Warga Madura tak bakal melupakannya,” tegas Made.
Cerita soal keramaian Ujung-Kamal di masa lampau juga digambarkan Aziz Mulyadi, salah seorang pedagang. Lelaki itu sudah berjualan lebih dari 22 tahun. Dia sempat menunjuk beberapa titik ruang tunggu penumpang yang sepi melompong. “Dulu ada lebih dari 150 pedagang asongan yang berebut pembeli. Sekarang sepi,” kata Aziz.
Menurut dia, pendataan sempat dilakukan PT ASDP baru-baru ini. Hasilnya, hanya 40 pedagang yang masih bertahan.
Sebagian teman Aziz pergi meninggalkan pelabuhan. Banyak yang beralih profesi. Selain menjadi buruh pabrik, banyak mantan pedagang yang bekerja sebagai kuli di pasar tradisional.
Aziz memakluminya. Kejayaan penyeberangan Ujung-Kamal yang semakin tergerus. Pendapatan pedagang turun drastis gara-gara sepinya penumpang. “Dulu saya bisa mengumpulkan uang hingga Rp 150 ribu per hari. Sekarang hanya Rp 40 ribu per hari,” keluhAziz.
Berdasar catatan PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Surabaya, ada 16 kapal yang beroperasi sampai 2009. Sebagian besar milik swasta. Setiap hari kapal-kapal itu berangkat dengan penuh penumpang.
Perubahan lantas terjadi setelah Suramadu difungsikan. Jumlah kapal terus turun. Banyak perusahaan pelayaran yang menarik asetnya. Sebagian kapal dipindahkan ke luar Pulau Jawa.
Hingga kini, hanya tersisa tiga kapal yang masih eksis menyeberangi Selat Madura. Selain KM Tongkol, ada KM Joko Tole dan KM Gajah Mada. Tiga kapal itu memiliki kapasitas berbeda.
“Joko Tole berstatus milik swasta. Dikelola PT Dharma Lautan Utama,” papar General Manager PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Surabaya Rudy Bangsawan Hanafiah saat ditemui di ruangannya.
Pria asal Palembang, Sumatera Selatan, itu membenarkan, keberadaan Suramadu memang berdampak besar bagi kehidupan Ujung-Kamal. Penumpang jalur laut sepanjang 2 mil menurun drastis. Penurunan itu masih terus berlanjut hingga tahun ini.
Sepinya penumpang dipaparkan Rudy melalui gambaran grafik omzet perusahaan. Pada 2009, pendapatan PT ASDP Indonesia Ferry Cabang Surabaya mencapai Rp 164 miliar. Angkanya terus mengecil. “Tahun 2016, omzet jadi Rp 14 miliar,” tutur Rudy.
Tentu saja, penurunan omzet berdampak pada kesehatan keuangan perusahaan. PT ASDP merugi setiap tahun. Secara rata-rata, kerugiannya mencapai Rp 10 miliar-Rp 15 miliar.
Rudy membeberkan, dana perusahaan banyak terkuras untuk operasional kapal setiap hari. Sebagian untuk perawatan rutin. Termasuk, biaya perbaikan saat terjadi kerusakan. “Sedangkan kami tak punya harapan untuk mencari pendapatan lebih,” kata Rudy.
Satu-satunya pemasukan dari tiket tak bisa diandalkan. Bahkan, tarifnya sempat diperkecil. Kebijakan itu terjadi pada 2013. Tarif tiket dipangkas 50 persen. Upaya itu dilakukan untuk meramaikan Ujung-Kamal. Hanya, hasilnya kurang memuaskan. Penumpang tetap sepi. “Sekarang ini harga tiket sudah cukup akomodatif. Tidak mungkin dikurangi lagi,” tambah Rudy.
Berdasar informasi, tarif untuk penumpang Rp 5.000, sepeda motor Rp 7.000, mobil Rp 46.000, dan truk mulai Rp 56.000 hingga Rp 74.000. Tarif truk menyesuaikan jenisnya.
PT ASDP terus berupaya mengakali agar perusahaan tidak banyak merugi. Salah satu caranya, mengurangi jam operasional penyeberangan. Sebelumnya, tiga kapal beroperasi 24 jam.
Sekarang kapal hanya berjalan 16 jam. Yakni, mulai pukul 05.00 sampai 21.00. Satu kapal berlayar sepuluh kali pergi pulang (PP). “Sempat saya usulkan pengurangan jadwal pemberangkatan. Namun, ditolak perusahaan swasta,” kata Rudy.
Untuk efisiensi operasional, PT ASDP juga mengurangi jumlah dermaga yang difungsikan. Dari tiga dermaga, hanya satu yang dipakai. Hingga kini, tiga dermaga dimanfaatkan secara bergantian.
Adakah kemungkinan untuk mengurangi kapal? Rudy menyebut itu sulit dilakukan. Tiga kapal cukup minimal. Jika dikurangi, hal tersebut akan menyulitkan saat ada kapal yang docking. Sebab, masa docking kapal bisa mencapai satu bulan.
Pasca digratiskannya Suramadu, Rudy berharap pelabuhan Ujung tidak ditutup. Sebab, masih ada masyarakat yang memanfaatkannya. Sebagian warga Madura masih nyaman menyeberang laut dengan kapal.
Salah satunya diungkapkan Abdul Muhfi. Lelaki itu juga ingin Ujung-Kamal tidak ditutup. Sebab, aktivitasnya sangat bergantung kondisi kapal.
“Saya lebih nyaman naik kapal. Kalau lewat Suramadu sering kena macet di Jalan Kenjeran,” kata Abdul.
Lelaki itu mengaku sudah 20 tahun menunggangi kapal saat perjalanan Madura-Surabaya atau sebaliknya. “Suasananya berbeda saat berada di laut,” tutur teknisi salah satu pabrik di Wonocolo, Surabaya, tersebut.
(*/c10/ttg)