Berita Nasional

Menumpuk di Bandara, Mendengar Kata Tsunami Langsung Menangis

Indodax


[ad_1]











Wikimedan– Sejak diguncang gempa dan tsunami, Jumat (28/9), Palu masih menjadi kota mati. Para warga yang selamat berbondong-bondong ke Bandara Mutiara SIS Al-Jufri. Mereka ingin segera meninggalkan Kota Kaledo.





Sahrul Ramadan-Palu


Menumpuk di Bandara, Mendengar Kata Tsunami Langsung Menangis

Kondisi raungan utama Bandara Mutiara SIS Al-Jufri, Palu, setelah diguncang gempa. (Sahrul Ramadan/ Wikimedan)





Sisa-sisa kerusakan yang ditinggalkan gempa maha dahsyat itu begitu jelas membekas di Bandara Mutiara Al-Jufri, Palu. Pintu utama bandara itu, di bagian tengah, rusak parah. Pecahan kaca berserakan memenuhi lantai. Plafon-plafon berjatuhan dari atas. Kondisinya memang parah.





Saya mendarat di Palu, Minggu pagi (30/9). Jarum jam di pergelangan tangan saya persis menunjukkan pukul 05.30 WIB. Begitu turun dari pesawat Hercules yang mengangkut saya dari Makassar, tak jauh dari landasan pacu sudah banyak orang berjubel. Mereka adalah warga yang selamat dari gempa dan tsunami.





Lantaran pintu utama rusak parah, praktis hanya ada dua pintu yang bisa digunakan. Yakni di sisi Barat dan Timur. Di kedua pintu itu, sudah banyak orang yang ingin berebut masuk ke dalam landasan pacu. Mereka ingin segera dievakuasi, ke mana saja. Asal bisa segera meninggalkan Palu.






Trauma mendalam memang sangat dirasakan oleh mereka. Selamat dari bencana, bukan berarti hidup mereka tenang. Bayang-bayang bangunan runtuh, jalan terbelah, jembatan roboh, hingga gelombang pasang yang naik ke daratan benar-benar menghantui mereka.






Saking traumanya mereka, saya sampai tak tega untuk bertanya soal bencana itu. Saya sempat mengobrol seorang perempuan paroh baya. Baru saja menyebut satu rangkaian kalimat tanya, “Bagaimana situasinya saat tsunami itu datang?”, perempuan itu langsung menangis. Kedua tangannya langsung menutupi wajah.





Saya merasa bersalah sudah menanyakan hal itu kepadanya. Tentu saya langsung minta maaf. Entah dia menerimanya atau tidak. Yang jelas dari pengalaman itu, saya tahu betapa mendalamnya trauma para korban.





Sejak saya mendarat, Bandara Mutiara SIS Al-Jufri sudah penuh sesak. Mereka menunggu giliran pesawat Hercules. Informasi yang saya terima, sehari maksimal ada tiga pesawat yang bisa mengangkut para pengungsi itu.





Praktis, semua burung besi yang membawa para korban itu terbang saat matahari masih menyapa. Saat malam, para warga yang belum terangkut menanti dan berisitirahat di tenda-tenda darurat di sekitar area bandara.





Situasi yang sama juga terlihat Senin (10/1). Bahkan para pengungsi semakin banyak menyesaki Bandara Mutiara SIS Al-Jufri. Kebanyakan mereka jalan kaki puluhan kilometer. Mereka tidak hanya berasal dari Palu, tapi juga kabupaten-kabupaten lainnya.





Setelah mengikuti proses evakuasi korban yang tertimbun di Hotel Roa Roa, saya menuju Bandara Mutiara SIS Al-Jufri. Jaraknya sekitar 6 sampai 7 km. Untuk menuju ke sana, saya harus menumpang warga yang membawa motor. Saya sampai berganti tumpangan tiga kali.





Mereka yang membawa motor ini juga sedang mencari sanak saudaranya. Bandara menjadi harapan mereka. Berharap ada keajaiban. ”Mungkin ketemu di bandara. Mudah-mudahan saja,” kata seorang warga yang membonceng saya sampai Bandara SIS Mutiara SIS-Al Jufri.





Saking saksamanya mendengarkan ceritanya, saya sampai lupa menanyakan nama si bapak paroh baya yang baik hati ini. Dia menuturkan, gempa mengguncang Palu tatkala kumandang azan magrib. Awalnya, lantunan takbir saat azan sama seperti hari-hari biasanya. Sampai kemudian gempa itu datang, azan yang tadinya bersahut-sahutan antar masjid, sayup-sayup mulai terdengar lirih.





Warga langsung berkerumun, memenuhi jalanan. Tak lama berselang, kawasan pesisir Palu diterjang gelombang tsunami. Seisi kota benar-benar luluhlantak.





Sepanjang perjalanan itu kami terus mengobrol. Banyak warga berjalan kaki kea rah yang sama. Jalanan utama menuju bandara itu banyak yang retak. Pada akhirnya kami tiba juga di bandara.





Kondisinya malah lebih ramai dibanding saat saya pertama kali menjejakkan kaki di Palu. Para pengungsi itu terlihat letih. Bibir mereka mongering. Kurang minum.





Tidak ada bantuan makanan di bandara. Mereka hanya mengandalkan bekal yang dibawa dari rumah. Tak jarang beberapa diantara mereka saling berbagi minuman. Saling memberi dukungan.





Sama seperti sebelumnya, lansia, perempuan, dan anak-anak diprioritaskan untuk dievakuasi lebih dulu. Tidak sedikit anak-anak itu yang lemas. Mereka menangis karena berdesak-desakkan. Ada yang sampai digendong ibunya.





Mereka berebut mendapat jatah untuk terbang lebih dulu. Warga sudah tidak ingin lama-lama berada di Palu. “Kami kelaparan sama sekali tidak ada yang kasih sisa (tersisa, Red). Tsunami sudah bawa semua. Harus tinggalkan dulu ini Palu supaya bisa kasih tenang perasaan,” kata Rahmi, 26, satu dari ratusan korban pengungsi yang ditemui di Bandara.

Perempuan asal Kediri, Jawa Timur ini, jalan tergesa-gesa memasuki landasan pacu bandara. Bersama dengan putrinya yang berusia 10 tahun, Rahmi sekuat tenanga menerobos kerumunan. Berusaha menjebol barikade penjagaan petugas di pintu sisi Barat.





Rahmi akhirnya mendapat pesawat yang akan mengangkutnya ke Makassar. “Kalau kita tidak begini kita tidak bisa tinggalkan dulu Palu. Kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Hanya berharap supaya bisa naik ke pesawat dalam sini,” ucapnya sembari membawa anaknya berlari-lari di landasan pacu yang retak itu.





Dengan napas tersengal-sengal, Rahmi tidak menyangka bencana datang begitu cepat. Rumah usaha batako miliknya yang sudah sepuluh tahun dibangun, habis tersapu gelombang. Tempatnya mencari nafkah itu berada di Jalan Yos Sudarso. “Kita (pakai) pakaian di badan saja sekarang sama ambil berapa lembar (uang) yang bisa kita selamatkan,” tambahnya singkat. 

Rahmi sebenarnya mengungsi bersama suaminya, Arik. Namun karena perempuan dan anak-anak mendapat prioritas, Arik terpaksa tertahan di luar gerbang pintu masuk Bandara.





Perasaan yang sama juga dirasakan Lusi, 37. “Tidak ada yang mau lagi tinggal disini, sudah tidak ada apa-apa lagi kita-kita disini,” ungkapnya.





Sampai saya meninggalkan bandara menjelang magrib, ratusan pengungsi masih bertahan. Bahkan ada gelombang pengunsi yang baru tiba. Mereka yang seharian berpeluh keringat, harus sabar menunggu pesawat lain tiba esok hari.





Tidak ada daftar nama, siapa-siapa saja yang lebih dulu datang di bandara. Petugas hanya bisa mengatur agar warga tidak berebut. Itupun diatur dengan susah payah.





Para petugas itu sudah mengabdikan dirinya untuk rela berimpitan, ditarik oleh pengungsi yang marah, sampai mendapat bentakan. Pemkot Palu juga tidak memberikan terkait kondisi kisruh di bandara.





Sebagai “pendatang” di kota ini, saya cuma bisa berdoa. Semoga derita para korban tidak bertambah. Mudah-mudahan mereka masih diberi kekuatan. Dan tentu saja, secepatnya mereka bisa dievakuasi keluar Palu.





(rul/JPC)


[ad_2]

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *