Berita Nasional

Mampir ke Kampung Gabahan, Kampungnya Para Penjaja Gilo-gilo

Indodax


[ad_1]






Wikimedan – Minto, 48, warga Kampung Gabahan, Kelurahan Gabahan, Semarang Tengah, terlihat masih memarkir gerobak dorongnya di sisi jalan Gang Garuda yang tak jauh dari kediamannya. Pria asli Klaten, Jawa Tengah itu sedang menunggu sejumlah barang dagangan pesanannya untuk dijual kembali olehnya.





Ya, Minto merupakan salah satu pedagang gilo-gilo, jajanan rakyat asli Kota Semarang, yang hendak menjajakan dagangannya di daerah kisaran Taman Singosari, Semarang Selatan, Minggu (14/10) sore itu. “Masih nunggu pesenan, lunpia, peyek udang, banyak lah mas. Nanti sambil jalan juga ambil,” ujarnya saat dijumpai di Jalan Karanganyar, Kampung Gabahan. 





Sementara terlihat pula tertata rapi di atas gerobak milik Minto, ada aneka potongan buah macam pepaya, melon, nanas, semangka dan masih banyak lagi jenis yang berair. Di atasnya diletakkan es batu untuk menjaga kesegarannya. “Kalau buah saya beli di pasar. Terus saya potongin sendiri,” sambungnya.


Kuliner Khas Semarang

Gilo-gilo adalah kuliner khas Kota Semarang yang identik dengan gerobak dimana di atasnya dihidangkan berbagai macam santapan penggoyang lidah. (Tunggul Kumoro/Wikimedan)





Aneka kudapan dan buah-buahan ini, dijual Minto secara murah meriah saja. Dimana buah per potongnya cuma seribu rupiah. Lalu, gorengan seperti tahu bakso, tempe, bakwan, lunpia, pisang aroma, ia patok dua hingga tiga ribu rupiah per buahnya. Begitu pula untuk satenya.





“Asal telaten mas. Kalau mau, ya sehari bisa dapat Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. Itu hasil jualan dari sore sampai malam sekitar jam 11-an,” akunya.





Tak jauh dari lokasi Minto dijumpai, berdiri sebuah bangunan tingkat yang dihuni beberapa orang, termasuk Minto sendiri. Tepatnya di RT 2 RW 4, Kampung Gabahan, Kelurahan Gabahan, Semarang Tengah. 






“Ini rumah kontrakan dihuni oleh sejumlah bakul (pedagang). Seperti tahu gimbal, bakmi, juga gilo-gilo. Makanya kampung ini dinamai Kampung Bagilo, kependekan dari Kampung Bakul dan Gilo-gilo,” jelas Gunung Mahesa, seorang budayawan asli Kota Semarang yang kebetulan juga warga Kelurahan Gabahan.






Dikisahkan Gunung, Kampung Karanganyar, Kelurahan Gabahan ini memang bisa dikata menjadi cikal bakal menjamurnya penjual gilo-gilo di Kota Semarang. Hingga sebelum menjadi kuliner khas, gilo-gilo terlebih dahulu dipopulerkan oleh beberapa orang asli Klaten, Jawa Tengah yang datang untuk tujuan berdagang di Kota Semarang puluhan tahun silam.





“Pertama itu Mbah Harjo. Pas zaman penjajahan sekitar tahun 1930 datang ke Semarang dengan gilo-gilo yang masih model dipikul. Beliau kemudian tinggal di sini sampai meninggal dan menularkan dagang gilo-gilo ini ke warga lainnya. Sampai-sampai warga luar sini (Kampung Gabahan) banyak juga ikut jualan,” terang Gunung.





Di sisi lain, ada pria sepuh yang mengaku sering disapa Mbah Yo. Usianya sudah lanjut, yakni 68 tahun. Dan menurut Gunung, dia lah yang sempat merasakan berjualan gilo-gilo di era Mbah Harjo.





Diakui Mbah Yo, dirinya kini memang sudah tak berjualan gilo-gilo lagi dan telah beralih menjadi seorang buruh sejak lama. Berdagang di usia belia, saat itu tahun 1968, lelaki asli Kecamatan Bayat, Gamping, Tegalrejo, Klaten ini pernah menenggak pahit manis berjualan gilo-gilo.





“Dulu saya jualannya di daerah dekat Stasiun Poncol. Yang saya jual dulu sate rambak babi, saren, salak, kesemek, yang rata-rata sudah nggak dijual lagi sekarang. Dan jualan zaman dulu juga nggak aman mas, banyak preman. Salak, sate jualan sering ilang nggak dibayar,” kisahnya.





Selain preman-preman tadi, yang menjadi pelanggan tetapnya kala itu adalah para tukang becak. Meski begitu, dibeberkannya, penghasilan berjualan gilo-gilo tak banyak. Sehingga tidak butuh waktu lama baginya untuk memutuskan beralih profesi.





“Waktu itu masih dipanggul, berat. Dan juga nggak muat banyak mas. Tapi setelah itu kan tahun 1975an, mulai pada pakai gerobak karena jalannya sudah halus diaspal. Dagangan juga muat banyak, tapi saya nggak sempat ngalami itu,” imbuhnya.





Terpisah, Sugianto, selaku Ketua RT 2 Kampung Gabahan, mengatakan, ada sekitar 14 orang di wilayahnya yang berprofesi menjadi pedagang gilo-gilo. Rata-rata mulai tinggal di kampungnya sejak tahun 1990-an dan 2000-an awal. Kini, masing-masing dari mereka berjualan menyebar di sejumlah sudut Kota Semarang.





“Di Pleburan, Poncol, Pekunden, belakang Citraland, belakang (toko) Matahari juga ada. Kalau rata-rata yang baru-baru ini pendatang dan dari Klaten. Kalau yang dari zaman awal-awal sudah pada meninggal, tinggal ada beberapa seperti Mbah Paiman,” ujarnya.





Kehadiran para penjaja gilo-gilo ini, namun harus diakui Sugianto membawa dampak sangat positif bagi kampungnya. Lantaran, tak sedikit dari warganya yang kini menjadi pemasok pedagang gilo-gilo





“Karena mereka, warga jadi punya inisiatif. Menjadi penyetor gorengan, sate, dan lain sebagainya. Ini kan jelas mendorong pemasukan warga,” sambungnya.





Sugianto turut menjelaskan bahwa dalam waktu dekat pula, kampungnya akan dinobatkan sebagai salah satu kawasan tematik. Kampung Bagilo ini akhir tahun 2018 bakal diresmikan sejak perencanaanya diajukan pada 2016 lalu.





“Pernah dulu ada daerah lain yang juga mengajukan menjadi kampung gilo-gilo ke Pemkot. Tapi akhirnya kita yang disahkan karena kita punya data komplit soal itu. Kita akan buktikan identitas Kampung Bagilo ini dengan pembenahan terlebih dahulu. Seperti dimulai dari penyeragaman gerobak yang saat ini warna dan bentuknya masih beda-beda,” tandasnya.





(gul/JPC)

[ad_2]

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *