Berita Nasional

Komisi VI DPR Soroti Perbedaan Data Produksi Versi BUMN Ini

Indodax


Wikimedan – Salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor pertanian PT Pupuk Indonesia, mendapat soroatan dari Komisi VI DPR. Pasalnya, diduga ada data yang tidak sinkron soal data produksi padi di Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Karena itu Anggota Komisi VI DPR RI H Nurzahedi mendesak agar pihak berwenang turun tangan melakukan audit ke PT Pupuk Indonesia. Politikus Partai Gerindra ini mengungkap ada perbedaan data antara Kementan dan data BPS soal produksi padi tahun 2018.

Kementan mengklaim produksi padi pada 2018 mencapai kisaran 80 juta ton. Sementara itu, dari metode penghitungan kerangka sampel area, BPS melansir produksi padi hanya 56,54 juta ton di periode yang sama.

“Kenapa ada perbedaan data antara Kementan dan BPS ini? Kan harus ada audit. Apakah metode penghitungan yang berbeda? Atau permasalahannya di mana. Publik harus tahu ini,” ujar Nurzahedi dalam keterangan tertulisnya sebagaimana dilansir dari Jpnn (JawaPos grup), Jumat (14/12).

Menurutnya, audit penting dilakukan ke PT Pupuk Indonesia karena berkaitan erat dengan penganggaran pupuk subsidi dalam negeri. Politikus Gerindra yang berasal dari Dapil Riau II ini mengungkap subsidi pupuk di tahun 2018 mencapai Rp 28,5 triliun.

Lalu pada 2019, subsidi pupuk ditingkatkan menjadi Rp 29,5 triliun. Tapi outputnya, tambah pria yang akrab disapa Eddy Tanjung ini malah menunjukkan produksi padi yang tidak sinkron antara BPS dan Kementan. Dengan kata lain, data yang mana yang digunakan untuk menentukan subsidi pupuk yang digunakan dan dalam posisi ini, vendornya adalah PT Pupuk Indonesia.

“Jangan sampai metode penghitungan dijadikan cara untuk bermain-main anggaran pupuk subsidi. Karena itu kami desak agar pihak berwenang lebih aktif soal ini,” cetusnya.

Diketahui, PT Pupuk Indonesia mengklaim hingga akhir Desember 2018 ini sudah mendistribusikan 8.345.804 ton pupuk Subsidi atau sekitar 88 persen dari target yang dicanangkan pemerintah. Terlepas dari angka penyaluran pupuk subsidi diatas 80 persen, dirasa perlu agar pihak berwenang melakukan audit, karena faktanya ada data yang tidak sama antara Kementan dengan BPS produksi padi tahun 2018. 

Lebih lanjut, Nurzahedi juga menuturkan, pada awal 2017 lalu, ada Laporan Hasil Kajian Kebijakan Subsidi di Bidang Pertanian yang terbit pada awal Maret. KPK menemukan kerawanan korupsi di program subsidi di antaranya adalah perencanaan alokasi pupuk dan benih bersubsidi, mekanisme penetapan Harga Pokok Penjualan (HPP) dan pengawasan yang tak maksimal.

Kajian itu menyatakan mekanisme penetapan HPP dapat membuka celah transaksional. Selama ini, HPP terbagi menjadi dua yakni HPP awal oleh Kementerian Pertanian dan HPP yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“KPK menyebut peluang transaksional kental muncul saat proses penilaian riil HPP, terutama saat menentukan komponen biaya produksi yang layak masuk sebagai penyusun HPP. Ini yang harus diperdalam,” ujarnya.

Celah korupsi, berdasarkan dari hasil kajian tersebut, semakin terbuka karena aturan yang digunakan dalam mengevaluasi komponen HPP pupuk bersubsidi relatif umum dan multitafsir.

Masih menurut kajian tersebut, dibeberkan perbandingan HPP antara pemerintah dengan BPK. Salah satu contohnya adalah PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC).

Perusahaan itu mengendalikan PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Iskandar Muda (PIM).

“Harapan kami, ini permasalahan pupuk harus benar-benar di selesaikan. Jangan setiap tahun bermasalah terus di pupuk subsidi dan petani kita terus jadi korban,” terang Nurzahedi.

(jpg/JPC)


Kategori : Berita Nasional

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *