Berita Nasional

Kisah Heroik Liput Tsunami Sulteng, 5 Jurnalis Palu Dapat Penghargaan

Indodax







Wikimedan Lima jurnalis asal Kota Palu diganjar penghargaaan. Penghargaan diberikan karena profesionalisme kerja sebagai jurnalis peliput bencana alam di Kota Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng).





Penghargaan diberikan oleh Indonesian Television Journalist Award (ITJ) 2018 sekaligus Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Ridiantara, di Makassar, Sabtu (10/11).





Kelima jurnalis asal Palu itu masing-masing adalah, Abdy Mari (tvOne), Ody Rahman (NET.), Rolis Muhlis (Kompas TV), Jemmy Hendrik (Radar TV), dan Ary Al-Abassy (TVRI).





“Ini adalah upaya untuk membangkitkan semangat dan motivasi dalam mempertanggungjawabkan pekerjaan, mengabarkan kepada masyarakat disituasi genting,” kata Rudiantara di sela-sela pemberian penghargaan di Makassar.





Menurunya, sikap yang ditunjukan kepada kelima jurnalis itu merupakan wujud yang wajib dibanggakan. Kelimanya lanjut Rudiantara, membantu mengabarkan kepada masyarakat umum terkait kondisi Sulteng pascabencana. “Meskipun harus berkorban tapi mereka adalah orang-orang yang luar biasa,” ucap Rudi





Ketua panitia penyelenggara, Anno Suparno mengatakan, lima jurnalis yang kisahnya viral itu pantas mendapat apresiasi tinggi dari dunia jurnalistik. “Mereka menjadi teladan dalam melakukan pekerjaan jurnalistik. Profesional dan mengutamakan kemanusiaan,” kata Anno dalam kererangan resminya.






Katanya, kisah lima jurnalis dari Palu itu telah menarik perhatian banyak orang hingga ke mancanegara. Kelimanya dianggap telah memperlihatkan sikap profesional yang tinggi bersamaan dengan pelayanan kemanusiaan yang hebat. Kepada lima jurnalis itu, ITJ dan bersama sponsor Noorcoin memberikan piagam penghargaaan uang tunai.






Kisah heroik lima jurnalis TV saat terjadi tsunami di Pelabuhan Pantoloan, Kota Palu, telah menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Donggala, Sigi, dan Palu. Kelimanya disebutkan rela mengorbankan nyawa hanya untuk mengabarkan kepada masyarakat terkait bencana akbar di Sulteng.





Kisah resmi perjalanan kelimanya berawal pada Jumat (28/09), sekitar pukul 15.00 Wita. Mereka turun dari Kota Palu menuju Kecamatan Sirenja di Kabupaten Donggala untuk meliput dampak gempa 5,9 SR yang terjadi satu jam sebelumnya, pada pukul 14.00 Wita. Kabarnya, ada korban meninggal akibat bangunan ambruk.





Jarak Palu ke Sirenja di Pantai Barat biasanya dua jam perjalanan menyusuri sisi utara teluk. Mereka bermobil dengan kapasitas tempat duduk tujuh penumpang. Satu jam perjalanan, dekat Pelabuhan Pantoloan menjelang perbatasan Palu-Donggala, pemandangan laut terlihat indah seperti biasanya.





“Namun, tiba-tiba muncul gempa yang sangat kuat. Saya langsung tarik rem tangan, mobil berhenti di tengah jalan. Hampir semua pengendara motor di sekitar kami berjatuhan,” kisah Ody yang mengemudikan mobil kala itu.





Mereka langsung turun dan merekam semua peristiwa itu dengan telepon genggam masing-masing. Ada yang sambil menolong orang-orang yang terjatuh. Tiba-tiba terjadi gempa susulan. Dan, ketika mereka melihat ke laut, tampak gelombang tinggi bergerak cepat ke arah mereka. Mereka terpana. Jemmy Hendrik berteriak, “Itu tsunami!”





Teriakan Jemmy menyadarkan mereka dan semua orang yang mendengar. Ada bahaya besar di depan mata. Orang-orang panik, berteriak-teriak. Mereka pun ikut berteriak sekeras-kerasnya memperingatkan semua orang. “Lari.., lari, tsunami, tsunami..!”





“Kami langsung masuk mobil dan putar balik. Kami lihat banyak orang lari ke sana ke mari. Kami buka pintu dan menarik beberapa masuk. Sampai tak ada lagi yang bisa masuk. Ibu-ibu, nenek-nenek, anak-anak, semua histeris dan menangis di dalam mobil yang sesak. Ketakutan dan mencekam,” cerita Ady.





Sampai di ketinggian dan merasa kondisi cukup aman, 17 penumpang termasuk sejumlah masyarakat yang sempat diselamatkan dalam satu mobil keluar. “Saya tidak tahu bagaimana bisa muat sebanyak itu,” lanjutnya.





Panik tak bisa menghubungi keluarga, tapi masih bisa menolong orang. Setelah memastikan berada di lokasi yang aman, mereka melihat ke arah tempat tadi berhenti di dekat Pelabuhan Pantoloan.





“Sudah rata dengan tanah. Rumah-rumah hancur dan berpindah tempat. Perahu dan kapal melintang di jalan. Di mana-mana terlihat penuh puing,” tutur Abdy.





Secara naluriah, mereka kembali merekam peristiwa itu untuk kepentingan berita dan mengabarkan pada dunia apa yang mereka saksikan dan alami sendiri. Sampai kemudian sadar, apa yang terjadi dengan keluarga mereka sendiri di Palu.





Serentak, mereka mencoba menghubungi keluarga masing-masing di Palu. “Tak ada lagi sambungan telepon. Kami bingung dan panik. Bagaimana keluarga kami. Saya mungkin yang paling galau karena tempat tinggal kami rumah tua yang rawan runtuh,” kata Abdy lagi.





Sekitar 30 menit kemudian, mereka memutuskan kembali ke Palu. Dengan tekad dan keberanian, kelimanya igin menemui keluarga dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang jurnalis untuk memberitakan.





Perjalanan kembali tidak mudah. Melewati puing-puing bangunan yang berserakan, jalan rusak, dan pikiran kacau mengingat nasib keluarga masing-masing. Saat itu, kondisi sudah gelap. Namun, mereka terus bergerak.





“Sampai di Kelurahan Mamboro, kami melihat seorang ibu yang terjepit runtuhan bangunan. Kami berhenti dan membawanya ke tempat aman. Tampaknya ada tulang yang patah,” tutur Ody kembali.





Mereka sempat terjebak di Kelurahan Layana dalam perjalanan ke Palu, karena jalan tertutup. Terpaksa berhenti dan menunggu. Beberapa jam kemudian, ada iring-iringan kendaraan Brimob melintas yang membuka akses jalan. Akhirnya, mereka baru bisa melewati jalur itu sekitar pukul 23.00 Wita, malam.





Di Palu, Abdy menghadapi kenyataan keluarganya telah mengungsi. Ketika bertemu, hanya ada istri dan anak pertama. Sedangkan anak kedua, Andra, hilang dengan posisi terakhir yang diketahui berenang di Hotel Golden Palu yang kena dampak tsunami.





Keesokan harinya, mereka mencari Andra. Setelah hampir putus asa, mereka pulang melihat kondisi rumah. Tak lama kemudian, Andra muncul. Anak SD itu rupanya lari ke gunung dan bermalam sendirian di sana hanya mengenakan celana renang. Ada beberapa luka karena ditabrak motor saat lari.





Setelah memastikan keluarga semua selamat, hari itu juga mereka kembali ke berbagai lokasi bencana. “Kembali ke bekerja seperti biasa. Kami baru bisa mengirim berita pada hari kedua melalui saluran yang sangat terbatas. Alhamdulillah,” pungkas kisah kelimanya.





(rul/JPC)



Kategori : Berita Nasional
Sumber : https://www.jawapos.com/jpg-today/10/11/2018/kisah-heroik-liput-tsunami-sulteng-5-jurnalis-palu-dapat-penghargaan

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *