Kepala Daerah Tersandung Korupsi, Pemda Harus tetap Jalan
[ad_1]
Wikimedan – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengobok-obok Malang Raya dalam setahun terakhir. Kepala daerahnya ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan dua di antaranya sudah vonis terkait kasus korupsi.
Sapu bersih KPK diawali di Kota Batu. Edi Rumpuko yang kala itu menjabat Wali Kota Batu terjaring operasi tangkap tangan (OTT) di terkait kasus gratifikasi proyek mebeulair. Penangkapan dilakukan akhir 2017.
Pada 2018, KPK kembali bersih-bersih di Kota Malang. Lembaga anti-rasuah menetapkan Wali Kota Malang Moch Anton dan 41 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka. Mereka terjerat kasus suap APBD Perubahan 2015.

Terbaru, KPK menetapkan Bupati Malang Rendra Kresna sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. Diduga, Rendra menerima suap senilai Rp 7 miliar.
Wikimedan lantas mengumpulkan opini masyarakat atas kasus korupsi di Malang Raya. “Saya tahu soal kasus korupsi para pemimpin di Malang. Kaget dan shock, kepala daerah dan jajarannya bisa terseret kasus korupsi,” kata Helda ‘Bee’ Ariyanti, 32.
Perempuan multi talenta yang berprofesi sebagai MC itu mengaku antipati dan nyaris muak dengan pemda. Sebab sebagai warga, dia harus taat membayar pajak dan aneka kewajiban lainnya. Namun ternyata masih saja ada pimpinan yang korupsi. “Penghasilan nggak tentu dan sudah menyisihkan. Tapi ternyata,” cetusnya.
Sementara itu, Debina, 28, mengaku sudah kehilangan rasa kepercayaannya terhadap pemerintah daerah. Bahkan ibu satu anak itu tidak pernah lagi menggunakan hak pilihnya sejak lima tahun lalu. Artinya, alumnus Universitas Brawijaya (UB) Malang itu selalu abstain.
“Zaman sekarang susah cari pemimpin yang amanah. Kalau nggak korupsi, ya menindas rakyat. Nggak jauh dari itu,” tukas pengusaha di bidang kuliner yang tercatat sebagai warga Jalan Sarangan, Kota Malang.
Debina mengaku sedih dengan kasus korupsi bertubi-tubi yang terjadi di Malang Raya. Dia pernah naik becak bersama suaminya dari Stasiun Tugu Malang menuju rumahnya. Selama perjalanan, tukang becak tak hentinya menceritakan soal kemajuan Kota Malang di bawah kendali Moch Anton.
Reaksi Debina dan suaminya hanya manggut-manggut saja. “Sedih gitu, rakyat sudah bangga dengan pemimpinnya. Eh nggak lama kemudian, dijadikan tersangka,” curhatnya.
Selanjutnya, pandangan disampaikan Anja Arowana, 26. Dia mengaku antipati dengan pemerintah. Ditambah lagi sikap koruptor yang ditangkap KPK seolah playing victim.
“Mereka menuntut keadilan dan lain-lain. Padahal yang victim di sini sesungguhnya adalah rakyat,” tegas ilustrator freelance di sebuah majalah fashion asal Hongkong itu.
Lajang yang tinggal di Tegalgondo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang tersebut menyayangkan kasus korupsi yang menjerat para pimpinan daerah di Malang Raya. Apalagi, mereka termasuk pemimpin yang banyak dijadilan role model oleh rakyat dan diidolakan.
Anja yakin dengan tidak ada korupsi, pertumbuhan semakin cepat dan dana bisa segera disalurlan untuk pembangunan infrastruktur. Namun perempuan yang menempuh S2 Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu sudah kehilangan kepercayaan. “Karena pemimpin korupsi bisa dibilang sudah tidak profesional dan tak mampu mengemban amanah,” tegasnya.
Faizal Mohtar, 34, punya pendapat yang berbeda untuk para pemimpin di Malang Raya. Menurut laki-laki yang berprofesi sebagai musisi ini berpendapat, pada dasarnya para pimpinan daerah yang tersandung masalah korupsi adalah orang baik. Bisa jadi mereka terjebak bahkan harus bertanggung jawab jika anak buahnya melakukan kesalahan.
“Saya tahu kasus korupsi yang menjerat para pimpinan di Malang Raya. Saya pikir memimpin bukan pekerjaan yang mudah. Bisa jadi godaan yang mengakibatkan beberapa tokoh (kepala daerah) tersandung kasus yang sama,” beber warga Kecamatan Dau, Kabupaten Malang itu.
Meskipun Malang Raya dikelilingi dengan kasus korupsi, namun pemda harus tetap berjalan. Bukan menjadikan antipati. Tetapi harus membangunkan beberapa elemen untuk turut serta memantau setiap saat kinerja pemerintahan berikutnya. Selain untuk mengawal, mengawasi, juga sebagai pengingat jika mereka bekerja untuk orang banyak. Jadi harus terus berhati-hati dan tanggung jawab.
Faizal menekankan, pemda harus tetap berjalan tidak perlu antipati. Jika diperlukan, musisi juga bisa mengawal pemerintahan. Caranya dengan konser-konser amal. Meski kecil tapi menyuarakan tentang daruratnya Malang mengenai korupsi.
“Sebagai musisi, sangat yakin jika pemda tidak terlibat korupsi. Mereka bisa melebarkan fokus dengan banyak hal. Salah satunya bisa lebih aware dengan kegiatan-kegiatan pemuda. Di antaranya kesenian, musik atau kebudayaan lain yang ada di daerah,” tegas laki-laki yang aktif di organisasi otomotif itu.
Hal senada disampaikan Eka Surya Prayogi, 30. Pekerja kreatif yang bergerak di bidang even organizer itu mengaku tidak antipati dengan pemerintah daerah. Meskipun para pimpinan daerah di Malang Raya terjerat kasus korupsi. “Tidak juga, karena mungkin tidak semua tersangkut pada kejadian itu,” tuturnya.
Yogi lebih memilih bersifat open minded dalam menyikapi partai yang pernah memiliki kader sebagai pelaku korupsi. “Bukan tentang partai.
Tapi tentang sosok personal dan lingkungan terdekat orang yang mencalonkan diri sebagai calon pemimpin Malang Raya,” imbuh laki-laki yang pernah bekerja di media massa lokal di Malang itu.
Menurut Yogi, aktivitas korupsi cukup mempengaruhi perkembangan pembangunan di Malang Raya. Sebab anggaran pembangunan daerah menjadi berkurang. “Saya yakin dengan tidak ada korupsi, semua akan berjalan sesuai rencana pembangunan di Malang Raya,” tandasnya.
Sementara itu, salah satu mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Fitria Safitri, 22, mengaku jengah dengan pemberitaan terkait kasus korupsi tiga kepala daerah di Malang. “Memang birokrasi tidak pernah bersih. Susah mencari orang yang amanah. Bisa jadi atasannya oke, tapi bawahannya nggak. Dan sebaliknya,” cetusnya.
Meski demikian, bukan berarti membuat kepercayaan Fitria kepada pemerintah daerah luntur. Mereka lebih punya kuasa untuk mengatur segala bentuk pemerintahan. “Hanya saja harus tetap mendengar suara masyarakatnya. Karena sebagai masyarakat juga berhak mengritik dan didengar,” ucapnya.
Safitri sendiri meyakini aktivitas korupsi sangat mempengaruhi jalannya pertumbuhan pemerintahan. “Seandainya bisa lebih kooperatif, tidak mementingkan ego dan tidak ada pengurangan, pembangunan bisa lekas rampung. Karena mereka juga harus mengingat kembali tujuan menjadi wakil rakyat dan pemimpin,” terangnya.
Salah satu pengembang property di Malang Makhrus Soleh, 41, justru berfikir lebih posotif. Semua pihak harus bisa mengambil hikmah dari kasus ini. “Ya semoga kita semua bisa ambil hikmahnya,” harapnya.
Dia pun masih percaya dengan sistem yang sudah dan akan dibangun pemerintah daerah. Namun untuk pemilihan selanjutnya, ia belum mengetahui apakah akan kembali memilih calon dari partai pengusung kepala daerah tercatut korupsi. “Masih belum tahu,” ucapnya singkat.
(fis/tik/JPC)
[ad_2]