Internasional

Internasional : Ambisi AS Menghambat Kemajuan Teknologi Cina

Indodax


Setelah Direktur global Huawei, Meng Wanzhou ditangkap di Vancouver, Kanada, pemerintah Amerika Serikat memasukkan nama-nama perusahaan Cina yang bergerak di bidang teknologi dan jaringan seluler dalam daftar hitam universitas Amerika.
Universitas-universitas AS diminta membatalkan kontrak kerja sama dengan perusahaan telekomunikasi Cina dan meninggalkan progam investasi bersama dengan mereka. Jika aturan ini tidak diterapkan sampai tahun 2020, perguruan tinggi Amerika akan kehilangan sejumlah kemudahan termasuk penggunaan dana pemerintah federal untuk program riset.

Pemerintah AS menuding perusahaan telekomunikasi dan seluler Cina melakukan aksi spionase dan mengaku khawatir bahwa informasi yang terkait dengan AS akan diserahkan kepada dinas-dinas intelijen dan militer Cina.

Perusahaan Huawei dan ZTE – dua raksasa telekomunikasi Cina – terlibat kerja sama di berbagai sektor di Amerika dan banyak melakukan investasi bersama termasuk dengan perguruan tinggi di negara tersebut.

Seorang anggota Kongres AS, Dutch Ruppersberger mengatakan, “Washington mengetahui bahwa Beijing memiliki tujuan, potensi, dan motivasi yang cukup dalam menggunakan perangkat seluler untuk melawan AS. Infrastruktur jaringan AS rentan dan para peretas Cina selalu menyerang mereka.”

Washington menuding Direktur global Huawei, Meng Wanzhou melanggar sanksi AS terhadap Iran. Namun karena gagal membuktikan tuduhannya itu, AS kemudian mengangkat isu kegiatan spionase oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi Cina.

AS dan Eropa telah meningkatkan tekanannya terhadap perusahaan telekomunikasi Cina. Presiden Donald Trump menandatangani sebuah dokumen yang melarang lembaga pemerintah dan operator AS menggunakan perangkat buatan Huawei dan ZTE. Aturan ini termasuk larangan penggunaan seluruh gadget yang mampu menyimpan data pengguna.


Direktur global Huawei, Meng Wanzhou.

Eric Anderson, dosen America’s National Intelligence University dan penulis buku “Sinophobia: The Huawei Story” mengatakan, “Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Huawei bekerjasama dengan sebuah kelompok dalam kejahatan spionase.”

AS tampaknya mengkhawatirkan kemajuan pesat yang dicapai perusahaan Huawei. Ia telah menjadi raksasa dunia yang menyediakan layanan telekomunikasi dan jaringan seluler setelah menyalip posisi perusahaan Ericson pada 2012.

Huawei memiliki lebih dari 180 ribu pegawai di seluruh dunia dan sekitar 46 persen dari mereka bekerja di bidang riset dan pengembangan teknologi. Perusahaan ini mendirikan sekitar 20 lembaga riset di negara-negara seperti Amerika, India, Swedia, Rusia, dan Turki. Pada 2011, Huawei menginvestasikan lebih dari 4 miliar dolar untuk program riset dan pengembangan teknologi.

Huawei meluncurkan ponsel pertama dunia dengan tiga kamera ke pasar global pada 2018. Raksasa telekomunikasi Huawei sedang bekerja untuk mengembangan infrastruktur jaringan 5G, dan Eropa merupakan pasar terbesar mereka di luar Asia.

Menjawab tudingan AS tentang hubungan mereka dengan pemerintah Cina, juru bicara Huawei, Scott Sykes mengatakan, “Hubungan perusahaan Huawei dengan pemerintah Cina seperti hubungan perusahaan Cisco dengan pemerintah AS.”

Banyak pengamat politik dan media percaya bahwa pemerintah AS telah memfokuskan upayanya untuk memperlemah posisi teknologi Cina. Karena menurut Washington, kemajuan Cina di berbagai bidang teknologi terutama telekomunikasi akan membahayakan kekuatan hegemoni AS. Untuk itu, AS mendorong negara-negara lain termasuk Eropa untuk menerapkan pembatasan bagi pasar Huawei dan ZTE.

Salah satu tujuan Gedung Putih menekan Huawei adalah mendepak perusahaan telekomunikasi Cina dari pasar Amerika dan membuka lapangan kerja untuk perusahaan-perusahaan negara itu. Sejalan dengan itu, AS melarang kerja sama perguruan tingginya dengan pusat-pusat riset Cina untuk mencegah transfer teknologi dan pencurian kekayaan intelektual.

Eric Harwit, dosen Program Studi Asia di Universitas Hawaii dan penulis buku “China’s Telecommunications Revolution” mengatakan bahwa para politisi Amerika hanya memikirkan kepentingan perusahaan-perusahaan mereka.


Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping.

Washington sedang meyakinkan sekutunya bahwa pemerintah Beijing mengontrol dan mengendalikan semua perusahaan Cina, terutama yang bergerak di bidang telekomunikasi dan teknologi, dan mereka dipakai oleh dinas-dinas intelijen Cina untuk kegiatan spionase. Dengan demikian, AS dapat merusak citra perusahaan teknologi dan telekomunikasi Cina di pasar dunia.

Penjualan ponsel pintar dan perangkat Huawei Cina lebih tinggi dari produk Apple dan ini akan menjadi perputaran uang yang sangat menjanjikan bagi perekonomian Cina. Dari perspektif Washington, ekonomi Cina akan terpukul dengan membatasi pasar Huawei di Amerika dan Eropa.

Tentu saja pembatasan ini membawa konsekuensi tertentu, di mana pasar Amerika dan juga pasar mitra dagang Cina akan menderita kerugian. Sebab, perusahaan-perusahaan operator di Eropa termasuk Jerman, sangat bergantung pada mitra mereka dari Cina termasuk Huawei.

Huawei adalah pemasok utama untuk perangkat jaringan seluler secara global. Jadi, sangat sulit dan bahkan mustahil untuk mencari pengganti bagi pemenuhan perangkat jaringan seluler dan pembangunan jaringan 5G tanpa merangkul mitra dari Cina.

Dosen Universitas Teknologi Kaiserslautern, Hans Schotten mengatakan bahwa jika perusahaan Cina dihapus dari rekanan pemasok perangkat jaringan, maka jumlah pemasok akan berkurang dan ini akan mendorong kenaikan biaya.

Analis senior perangkat seluler dan jaringan, Wayne Lam percaya bahwa Huawei karena desain dan inovasi yang dimilikinya, akan tetap berhasil jika kehilangan pasar Amerika. Meski Huawei mengumumkan bahwa pihaknya tidak ingin menutup mata dari potensi besar pasar Amerika.

Cina yang sedang mengejar pertumbuhan ekonomi dan posisi sebagai sebuah kekuatan dunia, sama sekali tidak tertarik untuk terlibat perseteruan dengan AS. Respon Beijing terhadap kebijakan menangkal Cina tentu akan berdampak negatif terhadap kerja sama perusahaan-perusahaan telekomunikasi Cina dengan mitranya dari Eropa dan Amerika.

Pemerintah Cina berkesimpulan bahwa dalam situasi kondusif, pihaknya akan lebih mampu mengendalikan situasi dan perilaku AS terutama Presiden Trump, daripada di tengah kondisi konflik. (RM)

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *