Diduga Serobot Lahan Warga, Bupati Kotawaringin Barat Dipolisikan
[ad_1]
Wikimedan – Bupati Kotawaringin Barat Nurhidayah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri. Dia diduga melakukan perbuatan melawan hukum atas tanah seluas 10 hektare di Kampung Baru, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Namun tak hanya Nurhidayah, sejumlah pejabat Kotawaringin Barat turut dilaporkan lantaran diduga merebut tanah milik seorang warga. “Mereka diduga bersekongkol melakukan perbuatan jahat untuk merampas dan menguasai tanah ahli waris Brata Ruswanda,” ujar Kamaruddin Simanjuntak, Kuasa Hukum ahli waris Brata Ruswanda di Bareskrim Polri, Kamis (4/10).
Kamaruddin mengatakan pihaknya melaporkan dua tindak pidana sekaligus. Pertama, dugaan pemalsuan surat yang dilakukan dengan seolah-olah ada SK Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam surat itu, dinyatakan tanah ahli waris menjadi milik Pemkot Kotawaringin Barat. SK Gubernur itu katanya dipakai sebagai bukti di pengadilan.
Laporan tersebut diterima Bareskrim Polri dengan Nomor: LP/1228/X/2018/BARESKRIM. “Diduga SK Gubernur ini tidak terdaftar di Kantor Gubernur Kalimantan Tengah, ini telah dipakai oleh Bupati Kotawaringin Barat untuk mengklaim kepemilikan,” bebernya
Kedua, Nurhidayah dilaporkan atas tuduhan dugaan perbuatan secara paksa menggunakan kekuatan penuh memasuki pekarangan atau area milik ahli waris. Dia menuturkan, Nurhidayah mengerahkan Satpol PP, Sekretaris Daerah dan pejabat Kotawaringin Barat pada tanggal 26 September 2018.
“Dia (Nurhidayah) menggunakan bukti yang diduga palsu tadi, sebagai bukti kepemilikan,” sebut Kamaruddin. Laporan tersebut juga diterima dengan Nomor: LP1229/X/2018/BARESKRIM.
Menurut Kamaruddin, tindakan Bupati Nurhidayah yang menyerobot dengan cara memasang plang kepemilikan Pemda Kabupaten Kotawaringin Barat di atas lahan milik ahli Brata Ruswanda dikategorikan melawan hukum.
“Apalagi di lahan tersebut telah tertutup untuk umum dan dipagari kawat berduri dengan plang pengumuman dilarang masuk. Ini namanya abuse of power,” tegas Kamaruddin.
Adapun penyerobotan ini bermula ketika (Alm) Brata Rruswanda membuka lahan yang sebelumnya hutan pada 1963 untuk areal pertanian. Sepuluh tahun setelahnya, Brata yang merupakan pegawai negeri sipil di Dinas Pertanian Kotawaringin Barat kala itu membuat Surat Keterangan Menurut Adat.
Kepemilikan lahan tersebut pun tercatat berdasarkan Surat Keterangan Tanah/Bukti Menurut Adat No: PEM-3/13/KB/1973 tanggal 22 Januari 1973 dengan luas 10 hektar.
Seiring waktu, Brata dimutasi ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Sedangkan tanah yang digarapnya, dipinjam untuk kepentingan pembibitan Dinas Pertanian.
“Dengan persyaratan sewaktu-waktu tanah tersebut dibutuhkan oleh Almarhum Suwanda maka perjanjian gugur secara otomatis atau seketika,” jelas Kamaruddin.
Kemudian pada 1982 Brata pensiun dari statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Dia pun kembali ke Kotawaringin dan membangun rumah di hamparan tanah 10 hektar tersebut.
Namun, beberapa bagian tanahnya terkena pembebasan jalan yang kemudian dijual per-kavling dan diberi sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Lahan 10 hektare milik Ruswanda pun tak mendapat sertifikat.
“Ketika dimohonkan sertifikatnya di kantor BPN justru terlapor membuat surat kepada PPN agar jangan memberikan sertifikat, dengan alasan tanah milik pemda dengan menggunakan surat yang diduga palsu,” pungkasnya.
(dna/JPC)
[ad_2]