Berita Nasional

Ada Tiga Masalah Kronis, MPR Minta Otda Dievaluasi

Indodax


Wikimedan – Pelaksanaan otonomi daerah (Otda) yang selama ini sudah berjalan perlu untuk dievaluasi. Tujuannya agar tata pemerintahan daerah mampu memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Itu diungkapkan oleh Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR Agun Gunandjar ketika menjadi pembicara pada Seminar Nasional bertema ‘Evaluasi Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Rangka Memperkuat NKRI’ di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor, Jawa Barat, akhir pekan ini.

Dalam kesempatan tersebut, dirinya memaparkan tiga masalah yang perlu dibenahi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Masalah pertama adalah tentang egoisme kedaerahan yang berlebihan. “Ada yang merasa sebagai daerah paling berjasa dalam kontribusi nasional,” ujarnya.
 

Kedua, liberalisasi ekonomi global di daerah yang tidak terkontrol oleh pemerintah pusat. Kemudia terakhir, adalah masalah kebijakan pemerintah pusat yang tidak konsisten dengan Pasal 18 UUD NRI tahun 1945, UU tentang perimbangan keuangan pusat-daerah, UU tentang pemerintahan daerah, UU tentang kementriaan negara dan UU tentang desa. 
 

Agun juga mengingatkan kembali bahwa konsep otonomi daerah telah dimulai pada awal reformasi, pasca-Amendemen UUD 1945 dan diselesaikan pada 2002. DPR dan pemerintah juga telah mengesahkan UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang juga mengatur tata kelola desa.
 

Selain UU No.32 tahun 2004, UU No.39 tahun 2008 tentang kementerian negara juga mengatur pembagian fungsi dan manajemen pemerintahan yang mendorong peningkatan alokasi anggaran untuk daerah.
 

Namun, meski telah ada aturan, Agun mengakui pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih terkendala sejumlah masalah dalam penerapannya, seperti isu keberadaan raja-raja kecil di daerah, potensi separatism dan korupsi yang dilakukan kepala daerah.
 

“Akibatnya, alokasi APBN terus menumpuk di Jakarta, “di kementerian,” ungkapnya.
 

Karenanya, untuk memuaskan pemerintah daerah, pemerintah pusat mentransfer alokasi dana tersebut melalui Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU dialokasikan untuk belanja rutin. Sementara DAK ditujukan untuk pembangunan. “Namun, DAK lebih kecil dibanding DAU,” katanya.
 

Selain DAU dan DAK, ada juga dana yang ditransfer dari kementerian. Dan untuk mendapatkan dana tersebut, pemerintah daerah wajib mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) yang diselenggarakan di Jakarta dan kewajiban untuk membentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) sebagai markas instansi pusat di daerah yang berfungsi untuk menyerap anggaran tersebut.
 

“Mengapa tidak diserahkan saja ke provinsi, kabupaten, dan kota secara langsung?” tanya Agun tentang keruwetan penyaluran alokasi dana tersebut.

Tujuannya, lanjut Agun, tentu untuk mengefisienkan penyaluran dana, maka pemerintah pusat atau kementerian tidak perlu lagi membuat pengadaan alat dan barang, apapun bentuknya, tegas Agun.
 

Pria asal Ciamis, Jawab Barat itu menegaskan kembali bahwa penyaluran dana secara langsung ke daerah akan mampu mendorong pertumbuhan pelaku usaha yang bermuara pada terciptanya lapangan kerja dan pemerataan pembangunan serta perekonomian.
 

Dirinya bersyukur pemerintahan Joko Widodo konsisten menjalankan UU No.6 tahun 2014 tentang pemerintahan desa. Dia mengatakan pemerintahan saat ini terus meningkatkan alokasi dana desa. “Tahun 2005, Rp 22 triliun dan di tahun 2019 meningkat hingga Rp 70 triliun”, tuturnya.

Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR, Agun Gunandjar, mengakui perlunya pemerintah mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah (Otda) agar tata pemerintahan daerah mampu memperkokoh NKRI. (Humas MPR)

(jpg/sat/JPC)


Kategori : Berita Nasional

Share :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *