Cerita Lengkap Ahok yang Bongkar Mafia Migas di Pertamina!
Berita terpopuler pekan ini datang juga dari petinggi Pertamina. Duduk sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) sebulan lebih, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mulai mengkritisi sejumlah kondisi di tubuh pelat merah migas terbesar di Indonesia tersebut.Dalam pesan singkatnya kepada CNBC Indonesia, Ahok menceritakan beberapa permasalahan terkait soal impor BBM dan juga harga BBM.Pertama, Ahok menyebut soal penurunan harga BBM non subsidi. Ia mengapresiasi kinerja tim di tubuh Pertamina, namun ia juga mengakui bahwa perubahan harga tersebut termasuk telat. Mengingat, SPBU asing seperti Shell dan kawan-kawan sudah mulai turunkan harga per 1 Januari 2019.Curhat Ahok berlanjut, menurutnya soal harga BBM ini ada yang sedang menjadi fokus perhatiannya yakni soal efisiensi. Misal soal kondisi jetty atau dermaga yang menurutnya sengaja dibiarkan rusak.”Jetty dibiarkan rusak agar sewa kapal jadi lama, kena denda. Ke depan harus tekan lagi harganya,” ujarnya kepada CNBC Indonesia dikutip Selasa (71/2020).Hal ini, kata dia, membuat hitungan harga BBM tidak efisien. “Tidak efisien dan bebankan ke konsumen,” katanya.Soal impor minyak dan BBM, ia juga mengkritik soal kontrak yang berlangsung antara Pertamina dan pemasok selama ini. Ia menyayangkan, kontrak yang diteken rata-rata dalam jangka pendek.”Pendek, 3-6 bulan, mayoritas dari Singapura yang masuk,” kata dia.Sebagai komisaris utama, ia juga mengaku punya keterbatasan untuk bergerak di Pertamina. “Komut agak sulit untuk cepat,” ujarnya.Bahkan, eks Gubernur DKI Jakarta itu mengungkap bahwa mafia migas yang sering-sering disebut oleh Presiden Joko Widodo memang masih ada.”Mafia iya, orang dalam dan ngajak orang luar. Tujuannya impor dan komisi, hulu sampai hilir biayanya tinggi,” kata Ahok.Upaya mendorong PT Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) untuk dimiliki 100% sahamnya oleh Pertamina merupakan langkah yang sudah harus dilakukan. Bahkan Menteri BUMN Erick Thohir menyebut lucu jika tidak ada pergerakan untuk mengubahnya. Pasalnya, potensi penghematan devisa negara sangatlah besar.”Kita push TPPI, karena lucu kita ini negara besar, sudah punya petrochemical plant ngga jalan-jalan. Hampir 15 tahun,” kata Erick Thohir di kantor Kementerian BUMN, Jumat (10/1/2020).Keresahan Erick berangkat dari fakta besarnya angka impor migas Indonesia. Bahkan menjadi beban bagi defisit neraca keuangan. Pada kuartal III-2019, transaksi berjalan membukukan defisit US$ 7,66 miliar. Sementara neraca migas defisit US$ 2,17 miliar.Besarnya angka defisit tersebut bisa diatasi jika pemerintah bisa memanfaatkan kilang minyak sendiri. Syaratnya, 100% saham harus dikuasai Pertamina. Saat ini, Pertamina memang sudah memiliki hampir 96% saham, namun masih menyisakan beberapa saham lain yang harus dimiliki.Peralihan harus segera dilakukan karena penghematan bisa sangat besar. Hal ini diungkapkan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Syaratnya Pertamina harus mengelola kilang yang terintegrasi dengan petrokomia ini.”Ini masih kapasitas petrokimia terbata, penghematan US$ 700 juta sampai US$ 1,2 miliar atau setara Rp 17 triliun,” kata Airlangga Jumat (20/12/2019) lalu.Menurutnya potensi ini masih bisa lebih tinggi jika dilakukan debottlenecking untuk kelola kilang tersebut, itu juga tergantung dari harga penjualan aromatik yang diproduksi kilang tersebut.”Karena harga termasuk PPn itu fluktuasi, ke depan bukan hanya aromatic center tapi dari sebagian harus ada investasi tambahan dan disiapkan oleh Kementerian BUMN,” jelasnya.Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam kesempatan terpisah mengatakan TPPI menjadi pilihan karena memiliki fleksibilitas yang baik dan bisa di-switch ke gasolin. “TPI punya TPPI, PON, Petrokimia, bagus sekali karena turunan satu ini komplit produknya,” kata dia. [cnbcindonesia.com]