Empat Tahun Rudiantara : Adakah Kepedulian Terhadap Nasib Operator Selular? (Bagian 1)

Jakarta, Wikimedan – Pada Kamis (25/10/2018), Kominfo memaparkan empat tahun pencapaian sejumlah program kerja guna mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Rudiantara, Menkominfo menjelaskan bahwa selama periode tersebut, Kemkominfo bertransformasi dari regulator menjadi fasilitator dan akselerator.
Hal itu dilakukan sesuai implementasi fokus utama Kemkominfo, yaitu percepatan pembangunan jaringan, perangkat, dan aplikasi (Network, Device and Application/NDA).
“Kominfo sebagai regulator, fasilitator dan akselerator, selama empat tahun ini membuat sejumlah program kerja untuk membenahi ekosistem teknologi informasi dan komunikasi yang dibagi berdasarkan Network (Jaringan), Device (Perangkat) dan Application (Aplikasi).
Menurut Rudiantara, terkait percepatan pengembangan jaringan (Network), beberapa langkah telah dilakukan, misalnya percepatan adopsi teknologi 4G yang dilakukan pada 2015.
Sehingga sampai saat ini penyebaran jaringan 4G berkembang sangat pesat, mencapai 73 persen di seluruh Indonesia, dan sekitar 97 persen sudah menjangkau wilayah perkotaan.
“Percepatan penerapan teknologi 4G, roll out-nya sudah mulai dilakukan sejak akhir 2015, dan penyebaran sudah mencapai 73 persen di seluruh Indonesia. Ini kami lakukan percepatan supaya turut mendorong percepatan ekonomi digital di Indonesia,” ujar Rudiantara.
Selain jaringan pita lebar berbasis selular, Rudiantara menambahkan bahwa Kominfo juga sedang membangun jaringan infrastruktur telekomunikasi Palapa Ring yang ditargetkan selesai pada 2019. Saat ini pembangunan Palapa Ring Paket Barat sudah 100 persen selesai, sementara Paket Tengah sudah 98 persen dan Paket Timur 74 persen.
“Jadi, nantinya wilayah-wilayah yang tidak dimasuki oleh operator telekomunikasi, akan di-cover dengan jaringan Palapa Ring, yang akan selesai dibangun pada awal 2019,” jelasnya.
Raksasa Ekonomi Digital
Publik tentu menyambut baik paparan yang disampaikan Rudiantara. Klaim keberhasilan menunjukkan bahwa sebagai pejabat publik, menteri yang akrab dipanggil Chief RA tersebut telah berupaya menunaikan sejumlah program kerja yang telah disusunnya, sesuai dengan program Nawacita yang diusung oleh Presiden Jokowi.
Rudiantara tentu tak ingin kembali mendapat penilaian yang kurang baik dari Presiden Jokowi seperti yang terjadi pada 2015. Saat menilai pencapaian kementerian dan lembaga (KL), berdasarkan masukan dari BPK, Jokowi mengungkapkan terdapat tujuh lembaga dan para menteri yang under perform.
“Ini yang saya sebutkan yang mendapatkan predikat Tidak Memberikan Pendapat atau disclaimer, biar tahu semuanya,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Bogor, Jumat (5/6/2015).
Ketujuh KL tersebut adalah Badan Informasi Geospasial, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika, LPP RRI, LPP TVRI dan Ombudsman Republik Indonesia.
Persoalannya, sejauh mana keberhasilan yang digaung-gaungkan Rudiantara itu membantu industri selular tetap tumbuh di tengah ketatnya iklim kompetisi?
Apakah kebijakan yang diambil Rudiantara sudah cukup mendorong operator kembali kompetitif?
Benarkah operator merasa puas dengan kebijakan yang ditempuh Rudiantara selama ia menjabat sebagai Menkominfo?
Tulisan ini mencoba merangkum berbagai pandangan yang berkembang di tengah karut marut industri selular, terutama beban yang mengimpit operator. Saya merangkum sejumlah data dan fakta, agar tidak terjadi miss leading, sekaligus juga sebagai pembanding.
Untuk bagian pertama, saya mengulas dari sisi network. Bidang yang sesungguhnya berperan paling besar. Pasalnya, tanpa operator bersedia mengeluarkan investasi pada pita lebar (broadband) baik 3G maupun 4G, tak mungkin masyarakat dapat menikmati layanan yang tumbuh di era digital, seperti konten dan aplikasi dengan baik karena leletnya kecepatan internet.
Harus diakui, perluasan layanan 4G yang kini menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia menjadi credit tersendiri bagi Rudiantara. Keberhasilan penataan frekwensi 1.800 Mhz, membuat 4G dapat dengan mudah dilaksanakan.
Dengan 4G, kita dapat menikmati internet dengan kecepatan hingga 100 Mbps. Kini berbagai layanan digital tumbuh semakin massif, baik game dan hiburan, e-commerce, pendidikan, dan lainnya. Ini menjadi katalisator yang sangat baik, karena berkat teknologi 4G yang diusung oleh operator, Indonesia kini memasuki era digital.
Pemerintah Indonesia memang memiliki visi besar dalam sektor ekonomi digital. Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di ASEAN. Tak tanggung-tanggung nilai transaksi e-commerce, diprediksi mencapai 130 juta US Dolar pada 2020 mendatang.
Kehadiran berbagai unicorn, perusahaan rintisan dengan valuasi USD 1 milyar, seperti GoJek, Traveloka, Tokopedia, Bukalapak, menjadi penanda bahwa Indonesia telah siap memasuki pasar ekonomi digital yang tumbuh pesat.
Persoalannya, untuk mengembangkan ekonomi digital membutuhkan investasi yang tak sedikit. Dalam dokumen Indonesia Broadband Plan (IBP) yang diterbitkan pemerintah pada Oktober 2014, investasi yang dibutuhkan mencapai Rp 278 triliun.
Jika dana investasi bukan menjadi masalah, maka pada 2019, ada 71 persen wilayah perkotaan atau 30 persen populasi perkotaan yang mendapat layanan internet supercepat, dengan kecepatan 20 Mbps. Sedangkan untuk wilayah perdesaan, pemerintah menargetkan 49 persen rumah tangga di perdesaan atau 6 persen dari total populasinya bisa menikmati layanan broadband dengan kecepatan 10 Mbps.
Negative Growth
Sayangnya, operator sebagai garda terdepan dalam mengembangkan ekonomi digital, justru kondisinya saat ini megap-megap. Tengok saja rapor para pemain di bisnis ini. Sepanjang semester 1-2018, kinerja operator sungguh-sungguh dalam tekanan karena anjloknya pendapatan. Kecuali Telkom dan Telkomsel, semua operator menelan kerugian.
Kinerja terburuk dialami Indosat Ooredoo. Anak usaha Ooredoo Group itu mengalami kerugian Rp693,7 miliar berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu yang masih membukkan keuntungan Rp784,2 miliar.
Pada periode ini, Indosat hanya membukukan pendapatan sebesar Rp11 triliun anjlok 26,8% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp15,11 triliun.
Meski tidak sebesar Indosat Ooredoo, XL Axiata juga mencatat kerugian, yakni sebesar Rp 82 miliar di semester pertama 2018. Kondisi itu berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu yang mencicipi laba Rp143 miliar.
XL Axiata memang mampu meraih pendapatan sebesar Rp11,06 triliun sepanjang semester I 2018 atau naik 1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 10,95 triliun. Namun kenaikan tersebut tak mampu mengangkat kinerja anak perusahaan Axiata Group itu.
Berbeda dengan XL dan Indosat, Telkom dan Telkomsel masih mencicipi keuntungan. Meski demikian, laba yang diraih keduanya tak lagi mencolok dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini menunjukkan baik Telkom maupun Telkomsel, tak kebal terhadap tren penurunan.
Tercatat, Telkom hanya membukukan keuntungan sebesar Rp8,7 triliun di semester pertama 2018. Turun drastis hingga 28,1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp12,1 triliun.
Operator pelat merah ini, hanya membukukan pendapatan sebesar Rp 64,37 triliun pada semester I 2018. Naik tipis 0,5% dibanding periode sama tahun lalu sebesar Rp64,02 triliun.
Begitupun dengan Telkomsel, sepanjang semester pertama 2018, operator selular terbesar di Indonesia itu hanya meraih pendapatan sebesar Rp42,7 triliun. Turun 7,1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp45,99 triliun.
Laba bersih yang dikumpulkan Telkomsel hanya sebesar Rp 11,7 triliun. Anjlok 24,4% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp15,5 triliun.
Bagaimana dengan Smartfren? Saya belum memperoleh data hingga semester 1 2018. Data yang tersedia masih pada Q1-2018. Namun setali tiga uang dengan XL Axiata dan Indosat Ooredoo, kinerja anak perusahaan Sinar Mas Group itu, juga dalam tekanan. Smartfren belum bisa keluar dari kubangan kerugian, meski tahun ini jumlahnya tak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Sepanjang Q1-18, Smartfren berhasil meraih pendapatan sebesar Rp 1,205 triliun naik 17,6% dibandingkan periode sama tahun 2017 sebesar Rp 1,021 triliun.
Kenaikan pendapatan tersebut membuat beban kerugian menjadi berkurang. Smartfren ‘hanya’ mencatat kerugian Rp 684,9. Angka ini turun 9% dibandingkan periode sama 2017 sebesar Rp 754,3 miliar.
Diakui oleh Dirut XL Axiata Dian Siswarini, industri selular hingga semester pertama 2018, sudah mengalami “negative growth” baik dari sisi pendapatan atau Earning Before Interest Tax Depreciation Amortization (EBITDA).
“Secara industri, negative growth terjadi di pendapatan , yakni minus 12,3% dan EBITDA minus 24,3%”, katanya.
Penurunan ini sebenarnya terbilang cepat. Pasalnya, sepanjang 2016, industri selular masih tumbuh sebesar 10%. Namun, kompetisi yang keras, membuat perang tarif data seolah tak berujung. Di sisi lain, layanan suara dan SMS yang tak lagi diminati karena pelanggan beralih ke layanan OTT, terutama OTT asing, membuat pertumbuhan menciut menjadi 9% di akhir 2017.
Tak Ada Solusi
Tak diragukan lagi, dengan kinerja operator yang bolong-bolong, industri selular Indonesia tengah memasuki fase genting. Operator seolah memasuki lorong gelap yang tak berujung.
Memang jumlah operator yang banyak menjadi biang keladi dari persoalan ini. Surplus operator terjadi, jauh sebelum Rudiantara menjabat sebagai Menkominfo.
Persoalannya, selama empat tahun menjabat adakah solusi yang ditawarkan Rudiantara agar kinerja operator kembali sehat? Jika mau jujur, sejauh ini tak banyak inisiatif dari Rudiantara yang benar-benar terlaksana.
Sebut saja program network sharing, revisi tarif interkoneksi, formulasi tarif data, Peraturan Pemerintah (PP) tentang OTT, hingga PP tentang merger dan akusisi yang diperlukan operator sebagai payung sebelum melakukan aksi korporasi. Sayangnya, semua program yang diyakini dapat menyehatkan operator tak ada yang terwujud hingga kini.
Kategori : Berita Teknologi