Kiprah Irwandi Jaswir Tekuni Halal Science Selama Dua Dekade
[ad_1]
Irwandi Jaswir terlibat dalam riset gelatin halal dari tulang unta dan ikan di Arab Saudi. Sangat produktif menulis jurnal ilmiah. Pernah pula jadi koresponden dan mewawancarai Kaka serta Federer.
M. Hilmi Setiawan, Semarang
—
LELAP sekali tidur Irwandi Jaswir malam itu. Ponselnya yang berdering berulang-ulang sama sekali tak bisa membangunkan pria 47 tahun tersebut.
Baru ketika bangun sekitar pukul 05.00 waktu Malaysia, dia kaget. Sebab, banyak sekali panggilan masuk yang tidak terangkat.
Dan, ternyata semua berasal dari para karib dan kolega guru besar di International Islamic University Malaysia (IIUM) itu. Berisi ucapan selamat karena Irwandi baru dinobatkan meraih King Faisal International Prize.
Penghargaan prestisius tersebut diumumkan malam hari waktu Arab Saudi pada 10 Januari lalu. Atau 11 Januari dini hari waktu Malaysia.
Selama ini, peraihnya adalah para kepala negara atau ulama besar. ”Saya adalah penerima pertama dari kelompok ilmuwan,” katanya saat ditemui di sela kegiatan diaspora pulang kampung di kampus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Peraih penghargaan tersebut sebelum Irwandi adalah Raja Salman pada periode 2017. Tokoh besar lainnya, antara lain, pemuka agama asal India, Dr Zakir A. Naik (2015), Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (2010), serta Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi (2011).
Penghargaan itu merupakan buah dedikasi panjangnya dalam riset halal science. Total sudah sekitar dua dekade dia berkutat di bidang tersebut.
Suami drg Fitri Octaviani SpOrth itu menjelaskan, dirinya tidak mendaftar untuk meraih penghargaan tersebut. Selama ini, pemilihan peraih King Faisal International Prize memang tidak dilakukan dengan sistem mendaftar. Tetapi diusulkan oleh tokoh berpengaruh di Arab Saudi.
“Saya diusulkan oleh Prof Hassan Al Kahtani,” katanya.
Meskipun tinggal di Malaysia, Irwandi kerap ke Saudi. Khususnya di King Saud University untuk melakukan joint research terkait dengan halal science. Setelah diumumkan pada 11 Januari, penghargaan tersebut baru diserahkan langsung oleh Raja Salman pada 23 Maret di Riyadh.
Mantan direktur di International Institute of Halal Research and Training (Inhart) International Islamic University Malaysia (IIUM) itu menuturkan, ada sejumlah kegiatan penelitian yang dilakukan, baik di Malaysia maupun Saudi. Di antaranya, proyek riset tulang unta yang bernilai 2 juta riyal atau sekitar Rp 7,9 miliar.
Proyek tulang unta itu ditujukan untuk mencari solusi bahan baku pembuatan gelatin. Selama ini, produk yang memanfaatkan gelatin seperti obat-obatan yang dibungkus kapsul kerap menggunakan bahan tidak halal. Sebab, gelatin yang sering digunakan berasal dari babi.
Irwandi bersyukur karena berhasil mengembangkan gelatin halal dari tulang unta. Berikutnya, dia juga melakukan riset untuk pembuatan gelatin dari bahan tulang ikan.
Selama menjalankan proyek terkait dengan tulang unta tersebut, Irwandi harus tinggal selama enam bulan di Saudi. Itu, bagi dia, bentuk pentingnya kolaborasi untuk urusan riset.
”Bukan berkompetisi,” jelas pemegang gelar profesor di bidang food chemistry and biochemistry di IIUM itu.
Kemudian, dia juga terlibat riset pemotongan ayam dengan cara pemingsanan (stunning) di Saudi. Menurut dia, dalam proses stunning tersebut, voltase listrik diatur sedemikian rupa sehingga membuat ayam pingsan, bukan mati.
Selain itu, Irwandi melakukan riset produk halal di Korea Selatan. Dia mengungkapkan, Korea Selatan tidak mau kalah dari Jepang yang telah memulai pengembangan produk daging halal.
Dan, dua negara bertetangga itu tidak mau kalah dari Australia. Negara di selatan Indonesia tersebut saat ini dilabeli produsen halal meat nomor satu di dunia.
Ilmuwan yang lulus program sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut menuturkan, gelar full profesor di kampus luar negeri didapatnya sebelum usianya genap 40 tahun. Dua tahun berselang, dia mendapat gelar profesor tipe B pada usia 42 tahun.
Peraih Habibie Award periode 2013 itu menjelaskan, gelar profesor di Malaysia terbagi dalam tiga tipe atau tingkat: profesor C, profesor B, dan profesor A. Sebagai warga asing, gelar profesor B itu sudah mentok.
”Sebab, untuk profesor A, itu umumnya rektor (warga negara Malaysia, Red),” jelasnya.
Apresiasi atas kiprah Irwandi tersebut, antara lain, datang dari Dirjen Sumber Daya Iptek-Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti. Menurut dia, penghargaan yang didapat Irwandi turut mengharumkan nama Indonesia di mata dunia.
”Kehadiran profesor kelas dunia seperti Prof Irwandi dapat menjadi katalis,” katanya.
Bapak Uzma Nadhirah, Balqis Afifah, Ahmad Farabi, dan Omar Avicenna itu memang sudah berkolaborasi dengan Universitas Indonesia (UI). Lagi-lagi terkait dengan produksi gelatin.
”Bersama UI, saya melakukan riset gelatin dari kambing etawa,” jelas akademisi kelahiran Medan, Sumatera Utara, 20 Desember 1970, tersebut.
Irwandi sangat produktif menulis di jurnal ilmiah internasional. Dalam setahun, dia bisa memproduksi 10 publikasi ilmiah. Bahkan, pada 2017 sebanyak 34 judul karyanya termuat di berbagai jurnal internasional.
Kebiasaan menulis, kata Irwandi, muncul karena dirinya sudah terbiasa bekerja di bawah tekanan. Sebab, untuk bisa menjadi dosen di kampus asing, dia dibebani target publikasi dengan jumlah tertentu setiap tahun.
Semasa remaja, dia mengaku gemar menulis cerpen. Ketika kuliah S-2 (master) jurusan Food Science and Biotechnology di Universiti Pertanian Malaysia pada 1994-1996, dia bahkan sempat menjadi koresponden sebuah tabloid olahraga nasional.
Dia pun berkesempatan mewawancarai beberapa olahragawan top dunia. Di antaranya, pesepak bola Ricardo Kaka. Juga petenis Roger Federer.
“Sampai sekarang saya masih pegang kartu wartawan. Jadi, bisa bebas nonton F1 di Malaysia, hehehe,” ungkapnya.
(*/c5/ttg)
[ad_2]