Prediksi Industri Selular Tumbuh Minus Akhirnya Menjadi Kenyataan
[ad_1]

Jakarta, Wikimedan – Telekomunikasi khususnya selular adalah industri strategis. Ia berperan penting dalam membuka keterisolasian, meningkatkan kualitas pendidikan, pengembangan ekonomi, pembangunan sosial, pelestarian lingkungan, hingga pemenuhan kebutuhan gaya hidup modern.
Sejak masuknya teknologi GSM pada 1995, berlanjut hingga teknologi 3G (2006) dan kini 4G (2015), penetrasi pengguna selular semakin berkembang pesat. Sebagai key driver, kehadirannya mampu mengubah arah dan mendorong kemajuan ekonomi bangsa.
Namun setelah tiga dekade kemudian, tak berlebihan jika kita menyebut Industri selular di Indonesia kini tengah mengalami fase genting. Jika pada tahun-tahun awal, pertumbuhan industri sempat mencapai double digit, saat ini jangankan satu digit, yang terjadi sudah mengalami negative growth.
Tengok saja rapor para pemain di bisnis ini. Sepanjang semester 1-2018, kinerja operator sungguh-sungguh dalam tekanan karena anjloknya pendapatan. Kecuali Telkom dan Telkomsel, semua operator menelan kerugian.
Kinerja terburuk dialami Indosat Ooredoo. Anak usaha Ooredoo Group itu mengalami kerugian Rp693,7 miliar berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu yang masih membukkan keuntungan Rp784,2 miliar.
Pada periode ini, Indosat hanya membukukan pendapatan sebesar Rp11 triliun anjlok 26,8% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp15,11 triliun.
Meski tidak sebesar Indosat Ooredoo, XL Axiata juga mencatat kerugian, yakni sebesar Rp82 miliar di semester pertama 2018. Kondisi itu berbanding terbalik dengan periode sama tahun lalu yang mencicipi laba Rp143 miliar.
XL Axiata memang mampu meraih pendapatan sebesar Rp11,06 triliun sepanjang semester I 2018 atau naik 1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp 10,95 triliun. Namun kenaikan tersebut tak mampu mengangkat kinerja anak perusahaan Axiata Group itu.
Berbeda dengan XL dan Indosat, Telkom dan Telkomsel masih mencicipi keuntungan. Meski demikian, laba yang diraih keduanya tak lagi mencolok dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini menunjukkan baik Telkom maupun Telkomsel, tak kebal terhadap tren penurunan.
Tercatat, Telkom hanya membukukan keuntungan sebesar Rp8,7 triliun di semester pertama 2018. Turun drastis hingga 28,1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp12,1 triliun.
Operator pelat merah ini, hanya membukukan pendapatan sebesar Rp64,37 triliun pada semester I-2018. Naik tipis 0,5% dibanding periode sama tahun lalu sebesar Rp64,02 triliun.
Begitupun dengan Telkomsel, sepanjang semester pertama 2018, operator selular terbesar di Indonesia itu hanya meraih pendapatan sebesar Rp42,7 triliun. Turun 7,1% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp45,99 triliun.
Laba bersih yang dikumpulkan Telkomsel hanya sebesar Rp11,7 triliun. Turun 24,4% dibandingkan periode sama tahun lalu sebesar Rp15,5 triliun.
Bagaimana dengan Smartfren? Saya belum memperoleh data hingga semester 1 2018. Data yang tersedia masih pada Q1-2018. Namun setali tiga uang dengan XL Axiata dan Indosat Ooredoo, kinerja anak perusahaan Sinar Mas Group itu, masih dalam tekanan. Smartfren belum bisa keluar dari kubangan kerugian. Meski tahun ini jumlahnya tak sebesar tahun-tahun sebelumnya.
Sepanjang Q1-18, Smartfren berhasil meraih pendapatan sebesar Rp1,205 triliun naik 17,6% dibandingkan periode sama 2017 sebesar Rp1,021 triliun.
Kenaikan pendapatan tersebut membuat beban kerugian menjadi berkurang. Smartfren ‘hanya’ mencatat kerugian Rp684,9. Angka ini turun 9% dibandingkan periode sama 2017 sebesar Rp754,3 miliar.
Diakui oleh Dirut XL Axiata Dian Siswarini, industri selular hingga semester pertama 2018, sudah mengalami “negative growth” baik dari sisi pendapatan atau Earning Before Interest Tax Depreciation Amortization (EBITDA).
“Secara industri, negative growth terjadi di pendapatan, yakni minus 12,3% dan EBITDA minus 24,3%”, katanya.
Penurunan ini sebenarnya terbilang cepat. Pasalnya, sepanjang 2016, industri selular masih tumbuh sebesar 10%. Namun, perang tarif data yang tak berujung, dan layanan suara dan SMS yang tak lagi diminati karena pelanggan beralih ke layanan OTT, membuat pertumbuhan menciut menjadi 9% di akhir 2017.
Jauh sebelumnya, tanda-tanda industri selular terus menurun, sesungguhnya sudah disuarakan oleh banyak kalangan. Salah satunya dilontarkan oleh analis saham PT Bahana Securities, Leonardo Henry Gavaza.
Dalam sebuah diskusi di Jakarta, (15/5/2017), Henry mengingatkan agar operator dalam negeri tidak lagi menerapkan perang tarif. Pasalnya, hal ini bisa berujung pada kebangkrutan perusahaan itu sendiri. Dia meminta, operator telekomunikasi belajar dari perang tarif yang pernah dilakukan oleh Esia Vs Axis.
Sepanjang 2010 – 2013, Axis dan Esia melakukan perang harga percakapan telpon dan internet secara masif. Akibatnya industri telekomunikasi nasional mengalami tekanan dan mengurangi profitabilitas perusahaan.
Menurutnya, dalam jangka pendek perang tarif seolah-olah akan menguntungkan konsumen. Konsumen akan mendapatkan tarif yang murah. Selain itu rapor manajemen kepada pemegang saham juga tampak kinclong. Ini disebabkan meningkatnya jumlah market share.
“Namun jangka panjang akan merusak industri telekomunikasi. Margin keuntungan terus tergerus. Industri yang pada 2016 bisa tumbuh 10 persen kemungkinan tahun ini tak akan tercapai. Bahkan bisa mengalami minus”, papar Henry.
Faktanya, prediksi yang disampaikan Henry itu kini menjadi kenyataan. Negative growth yang dialami operator selular tentu mengancam keberlangsungan usaha.
Ditengah tuntutan terhadap biaya operasional yang terus membengkak, operator tetap diharuskan membangun jaringan sebagai upaya untuk terus dapat bersaing.
Operator juga masih harus membayar biaya-biaya lain, seperti pajak penghasilan perusahaan, pajak pertambahan nilai, serta BHP frekwensi kepada pemerintah yang angka tidak kecil setiap tahunnya.
Sementara OTT yang sukses menggerus pendapatan operator, bebas melenggang tanpa membayar pajak, bebas dari lisensi fee, dan tak perlu membangun data center di Indonesia. Tak ada satu pun kebijakan yang saat ini menyentuh OTT. Padahal OTT sesungguhnya cuma menjadi benalu bagi operator. Sungguh ironis!
Jika sudah begini, mau dibawa kemana sesungguhnya industri selular Indonesia?
[ad_2]